Kamis, 14 Agustus 2008

Menelusuri Akar Masalah Teks dan Mata Pelajaran Sejarah

Oleh : Drs. Yani Santoso
email: yanisantoso@ymail.com

Peminat Sejarah dan Guru SD Setia Budhi Gresik
Jumat, 15 Agustus 2008

Lahirnya tulisan ini merupakan keinginan penulis untuk silaturahmi dan saling mengisi informasi melalui tulisan dan menjadikan Forum Komunikasi Alumni Sejarah 1984,benar – benar sebagai wahana informasi komunikasi dan dedikasi mengingat anggota forum komunikasi ini sebagian besar anggotanya adalah guru sejarah bahkan ada pula yang dosen sejarah .Agar setiap anggota bisa berdiskusi lewat dunia maya tentang hal-hal yang tidak diketahui dalam mata pelajaran sejarah yang sekarang ini banyak menjadi perdebatan .
Perdebatan – perdebatan seputar masalah – masalah buku teks sejarah , kurikulum maupun materi esensial sejarah khususnya seputar G 30 S / PKI ( G 30 S ) sering menghiasi halaman media massa maupun buku – buku terbitan baru yang memuat pandangan masing – masing sejarawan .
Perbedaan pandangan di kalangan sejarawan Indonesia bukanlah sesuatu yang harus diributkan melainkan merupakan kekayaan yang akan sangat berharga bagi kemajuan historiografi Indonesia jika perbedaan itu mampu dikelola dengan jujur berdasarkan sikap saling menghargai , kaedah yang berlaku umum secara ilmiah , dan bebas dari ambisi politis .
Herbert Butterfield dalam buku The Whig Interpretation of History mencoba memberi batasan penilaian yang bisa diberikan oleh sejarawan . Dia mencatat , lepas dari kesalahan penafsiran , sejarawan bertugas untuk memberi argumentasi yang lebih kepada upaya kritik dan moralitas serta menjauhi hasrat untuk menghakimi .
Jika sejarah obyektif adalah peristiwa ( moment ) itu sendiri , maka sejarah subyektif berdekatan dengan penafsir ( interpreter ) yang memberi makna bagi historiografi ( penulisan sejarah ) .
Dalam memahami suatu perbedaan ,cara berpikir seorang sejarawan tentunya sangat berbeda dengan masyarakat umum maupun siswa . Jika seorang sejarawan menanggapi suatu perbedaan merupakan suatu kekayaan maka seorang masyarakat maupun siswa lebih cenderung menanggapi dengan kebingungan bahkan menghakimi tanpa didukung sumber – sumber akurat .
Sejak reformasi 1998 yang ditandai berhentinya Soeharto menjadi Presiden dan merosotnya kekuatan orde baru , muncul gugatan terhadap teks sejarah orde baru . Banyak buku beredar isinya bertentangan dengan versi pemerintah yang selama masa 1965 – 1998 tidak ada tulisan tentang masalah kontroversial ditulis karena berbagai alasan kecuali percaya kepada buku versi orde baru . Akhirnya para guru mengeluhkan sikap siswanya yang menganggap pelajaran sejarah sebagai pelajaran membingungkan . Buku sejarah mengatakan A (tentang sebuah peristiwa ) tetapi media massa justru menyatakan B .
Kenyataan ini disebabkan penulisan sejarah pada masa Soeharto atau kerap disebut rezim orde baru (orba ) dilihat selalu dekat dengan penguasa . Penonjolan peran militer dan pengultusan personal sebagai orang yang paling berjasa bagi negara memenuhi buku – buku sejarah dengan label “ Sejarah Nasional “ .
Dalam masa orba , yang paling bertanggung jawab terhadap penulisan Sejarah Nasional adalah sejarawan akademis . Setiap penulisan sejarah selalu didominasi sejarawan akademis yang terpayungi otoritas keilmiahan sampai kenegaraan .
Hal ini bisa dibuktikan dengan menelusuri proses kelahiran buku Sejarah Nasional Indonesia (SNI ) 6 jilid yang sering disebut buku “ Babon “ . SNI yang diterbitkan tahun 1975 ditengarai banyak sejarawan dibuat sedemikian rupa untuk kepentingan penguasa . Apalagi adanya istilah buku “ Babon “ atau “ Pedoman “ semakin mengukuhkan peran pemerintah . Istilah “ Babon “ atau “ Pedoman “ adalah kewenangan pemerintah yang dapat mengeluarkan kebijakan untuk menetapkan buku mana yang pantas dijadikan acuan bukan sejarawan atau para penulisnya . Terbukti , tanggal 18 maret 1976 Presiden Soeharto menerima dengan resmi 6 jilid buku SNI . Presiden memerintahkan agar buku tersebut di pergunakan di sekolah – sekolah . Buku SNI itu akan dipakai sebagai “ Buku pelajaran diperguruan sekaligus bahan acuan penulisan buku sejarah tingkat sekolah dasar sampai lanjutan tingkat atas ". Berdasarkan SNI itu Nugroho Notosusanto (bersama Yusmar Basri,dari Pusat Sejarah ABRI ) menyunting buku Sejarah Nasional Indonesia , untuk SMP dan SMA.Buku itu diterbitkan oleh Depdikbud bekerjasama dengan Balai Pustaka . Masing – masing tingkatan dibuat menjadi tiga jilid . Dengan rincian jilid pertama untuk kelas I memuat pelajaran sejarah Indonesia jaman pra sejarah dan jaman kuno . Jilid kedua untuk kelas II memuat pelajaran sejarah Indonesia abad ke – 16 sampai abad ke – 19 . Sedangkan jilid ketiga untuk kelas III memuat pelajaran sejarah Indonesia jaman kontemporer .
Sejak awal buku SNI menuai banyak konflik dan kritik . Konflik sudah dimulai dalam lingkungan tim penyusun sejarah ini . Deliar Noer , anggota jilid V , yang ditugasi menulis “ Sejarah Pergerakan Islam , 1900 – 1945 “ , suatu hari dipanggil oleh Nugroho Notosusanto dan diminta mengundurkan diri . Materi sejarah yang ditulis Deliar tidak dimuat sama sekali dalam SNI . Mundurnya Deliar ,kemudian diikuti seluruh temannya pada jilid V , yakni Abdurrahman Surjomiharjo , Thee Kian Wie dan Taufik Abdullah . Taufik Abdullah pun menyatakan buku SNI mengecewakan beberapa penulisnya . Penanggung jawabnya mencetak naskah – naskah yang belum rampung dan belum dikoreksi , tanpa sepengetahuan para penulisnya . Terakhir , “ mundur “ Sartono Kartodirjo , yang keberatan dilibatkan sebagai penanggung jawab materi buku tersebut , terutama SNI jilid VI . Sejak edisi awal sampai edisi ketiga (1982) , nama Sartono memang dicantumkan dalam sampul depan bersama dengan Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto . Belakangan dalam edisi keempat ( 1984 ) ,nama Sartono sudah dihapus .
Diantara keenam jilid buku SNI , buku SNI jilid VI yang paling banyak mendapat kritik dan yang bertindak selaku ketua editor adalah Nugroho Notosusanto . Dari seluruh buku yang dijadikan acuan , buku karya Nugroho sendiri yang paling banyak dipakai , yaitu 17 buku . Tercatat pula 14 artikel Nugroho yang dijadikan referensi penulisan buku ini . Sedangkan artikel dari penulis lainnya tak ada yang melebihi tiga . Walaupun secara ilmiah hal itu tidak salah , tetapi mengesankan bahwa sang penulis lebih banyak menjabarkan pendapatnya sendiri daripada melakukan kajian sejarah yang baru secara utuh .
Dilihat dari penulisannya dan permasalahan – permasalahan yang diajukan , Nugroho menganggap sejarah sebagai suatu cermin masa depan dan bukan menganggap sejarah semata-mata suatu gambaran masa lampau . Dalam penulisan sejarah di Indonesia dikenal tiga jenis atau genre yaitu Sejarah Ideologis , Sejarah Pewarisan dan Sejarah Akademik . Nugroho lebih cenderung ke Sejarah Ideologis seperti Yamin dan Roeslan Abdulgani . Titik tolak yang paling penting dalam jenis sejarah macam ini adalah pencarian arti subyektif dari peristiwa sejarah . Masa lampau dipelajari bukan demi pengetahuan mengenai masa lampau tetapi demi lambang yang bisa digunakan untuk masa kini . Sikap ini jelas tampak dalam karya biografi Yamin dan tulisan – tulisan mengenai sejarah kuno Indonesia . Yamin menggunakan para pahlawan masa lampau sebagai personifikasi bagi “ manusia Indonesia “ yang ideal. Tulisannya mengenai sejarah kuno Indonesia jelas menyarankan agar keagungan yang dilukiskannya itu hendaknya menjadi model sebagai masa depan bagi suatu Indonesia yang baru dan bersatu . Karya – karya Roeslan Abdulgani tidak banyak berbeda dengan karya – karya Yamin . Walaupun lebih halus dalam pembeberan sejarah Indonesia dan lebih banyak menekankan pada priode pergerakan nasional serta perjuangan kemerdekaan . Abdulgani juga berusaha menjelaskan arti simbolik dari pengalaman sejarah . Baginya sejarah merupakan guru yang paling baik yang bisa mengajarkan cara menghindari kesalahan – kesalahan masa lampau dan menikmati keagungan – keagungan masa lampau . Sikap yang sama terdapat dalam tulisan – tulisan Nugroho Notosusanto . Dalam tulisannya yang teoritis ia menolak kemungkinan mencapai obyektifitas sejarah . Ia menekankan nilai edukatif dari sejarah .
SNI jilid VI juga terkontaminasi dengan kehendak politik saat itu yaitu mengangkat kehebatan Soeharto dan memojokkan Soekarno . Selain itu SNI jilid VI banyak dijumpai berbagai propaganda pemerintah Orde Baru .
Dari sudut ilmiah agaknya buku ini akan sulit dipertahankan . “Masalah pokok jilid VI ini adalah ketidakjelasan kerangka acuannya ( frame of work ) ,” kata sejarawan Taufik Abdullah .
Kritik paling tajam datang dari BM Diah di Harian Merdeka 8 april 1976 dan tulisan yang sama dimuat bersambung pada Harian Merdeka 18 – 20 september 1985 . Tulisan ini kemudian dibukukan BM Diah , Meluruskan Sejarah , Kumpulan Karangan , Jakarta : Pustaka Merdeka,1987 .
Perdebatan disekitar pelurusan sejarah hampir seluruhnya hanya berputar disekitar penzaliman yang dilakukan oleh Orde Baru . Dalam konteks sejarah kritis , pelurusan sejarah tidak bisa hanya dilihat secara parsial dan sekedar mengambil salah satu episode dari masa lalu itu untuk melegitimasi eksistensi sesuatu dan untuk menyatakan kebenaran historis .
Bagi sejarawan maupun guru sebagai pembelajar sejarah perlu mensikapi dengan prinsip – prinsip sejarah kritis dalam menghadapi menjamurnya karya – karya yang berhubungan dengan peristiwa G 30 S /PKI ( G 30 S ) . Ada bukti kuat atas terbitnya karya – karya itu hanya tinggal menunggu waktu untuk juga terjebak dalam kesalahan yang sama seperti karya – karya sebelumnya , jika prinsip – prinsip sejarah kritis tidak diterapkan . Bahkan beberapa karya yang ada telah terlibat secara emosional terhadap para korban , sehingga historiografi yang dihasilkan bergerak dari historiografi kritis ke historiografi simpati,dan kemudian ke historiografi empati .
Bagaimanapun juga sejarah adalah soal sudut pandang . Topik yang dibicarakan sebenarnya adalah masalah saat sejarah sebagai persoalan akademis dipindah kemateri pelajaran untuk pendidikan dalam arti subyektif bangsa . tidak seperti pelajaran lain , sejarah tidak hanya memiliki ranah pengetahuan , tetapi juga makna subyektif berbangsa . Artinya ,selain sebagai ilmu yang bekerja secara kritis , sejarah juga bermuatan makna yang dipegang dan nilai yang dianut suatu masyarakat pemilik sejarah itu .Pelajaran Sejarah merupakan sarana untuk memperkenalkan jati diri bangsa , sekaligus menanamkan semangat nasionalisme bagi siswa .
Sebagai rambu – rambu , guru sebagai pembelajar sejarah harus memahami perbedaan pendekatan pada tiap – tiap tingkatan . Untuk SD , sejarah dapat dibicarakan dengan pendekatan estetis .Artinya , sejarah ,diberikan semata – mata untuk menanamkan rasa cinta kepada perjuangan , pahlawan , tanah air , dan bangsa . Untuk SMP , sejarah hendaknya diberikan dengan pendekatan etis . Kepada siswa harus ditanamkan pengertian bahwa mereka hidup bersama orang , masyarakat dan kebudayaan lain ,baik yang dulu maupun yang sekarang. Oleh karena wajib belajar sampai sembilan tahun , jadi meliputi SD dan SMP , diharapkan mereka yang sudah lulus SMP , selain mencintai perjuangan , pahlawan , tanah air dan bangsa , mereka juga tidak canggung dalam pergaulan masyarakat yang semakin majemuk . Kepada anak – anak SMA yang sudah mulai bernalar itu , sejarah harus diberikan secara kritis . Mereka sudah diharapkan sudah bisa berpikir mengapa sesuatu terjadi , apa sebenarnya yang telah terjadi , dan kemana arah kejadian – kejadian itu .
Kemampuan kritis dituntut bagi pembelajar sejarah di tingkat SMA . Sebab tidak ada sejarah tanpa pertanyaan atau permasalahan . Analisis terhadap persamaan dan perbedaan fakta dalam rekonstruksi dan memahami sejarah suatu keharusan akademis . Salah satu pertanyaan itu adalah “ di mana letak perbedaan pendapat yang satu dibanding yang lain “.
Namun , prasyarat untuk melakukan perbandingan perlu dipenuhi . Guru harus memahami peta perbedaan pendapat , guru harus banyak membaca buku – buku atau karya – karya sejarah yang banyak beredar sekarang ini . Hal ini tentu sulit untuk dipenui setiap guru sebagai pembelajar sejarah di saat kesejahteraan guru masih terabaikan . Misalnya ,untuk mengetahui berbagai pendapat tentang G 30 S/PKI ( G 30 S ) , guru harus mempunyai banyak literatur selain versi pemerintah ( SNI jilid VI ) agar guru bisa menjawab berbagai pertanyaan siswa yang kritis untuk memenuhi rasa ingin tahunya kadang juga untuk menguji kemampuan guru .Seringkali pertanyaan itu didapat siswa karena pergaulan siswa dengan elemen masyarakat kritis .
Hingga kini tragedi G 30 S / PKI ( G30 S ) masih gelap meski sudah coba “diungkap “ dalam puluhan buku dan ratusan artikel ilmuwan , politisi dan wartawan barat . Tentang dalang , para penulis umumnya terpecah dalam empat kelompok besar , masing – masing dengan argumentasinya sendiri .
Kelompok pertama meyakini , Partai Komunis Indonesia ada dibelakang G 30S . Seperti termuat dalam SNI jilid VI .
Kelompok kedua meyakini , G 30 S adalah “karya ulung” Soeharto dengan CIA .Seperti yang ditulis Peter Dale Scott dengan judul Te United States and the Overthrow of Soekarno , 1965 – 1967 yang dimuat di Pasific Affairs ( 1985 ).
Kelompok ketiga meyakini , Presiden Soekarno adalah dalangnya , seperti yang ditulis Anthonie CA Dake dengan judul buku Sukarno File , berkas – berkas Sukarno 1965 – 1967 ,kronologi suatu keruntuhan .
Kelompok keempat berpendapat , G 30 S sepenuhnya masalah internal angkatan darat , seperti yang ditulis tiga akademisi Amerika Serikat : Ben Anderson , Ruth Mc Vey, dan Frederick Bunnel yang berjudul Cornell Paper . terbitan yang berjudul asli A Preliminary Analysis of the October 1, 1965 Coup in Indonesia .
Versi mana yang mendekati kenyataan , masih diperlukan puluhan tahun lagi . Bahkan Peristiwa G 30 S masih diliputi misteri yang belum terungkap .
Sekarang , keinginan masyarakat khususnya guru dan siswa untuk mendapatkan Buku Sejarah Indonesia yang lengkap dan terpercaya rupanya amat besar .Sejak terbitnya Buku Sejarah Nasional Indonesia Jilid I-VI ,hingga kini belum ada lagi penulisan Sejarah Indonesia . Setelah 30 tahun ,dari penulisan dan penelitian Sejarah Indonesia ( SI ) baik tesis maupun disertasi telah banyak hal baru yang ditemukan . Dengan demikian penulisan Sejarah Indonesia yang komprehensif (comprehensif study of history ) yang baru sudah menjadi tuntutan jaman .
Gagasan untuk merancang penulisan Sejarah Indonesia mulai dilakukan tahun 2002 . Tim penulis para sejarawan dan sejumlah pakar ilmu sosial – politik lain mulai bekerja sejak tahun 2003 dan diharapkan selesai tahun 2006 .
Penulisan buku Sejarah Indonesia yang direncanakan terdiri dari delapan jilid dari masa Prasejarah sampai masa Reformasi . Tim penulisnya dibagi atas (a) editor umum,yaitu Prof Dr Taufik Abdullah dan Prof Dr AB Lapian ; (b) editor jilid berjumlah 16 orang (tiap jilid terdiri terdiri dari dua editor jilid ) ; dan (c) penulis berjumlah sekitar 70 orang .mereka umumnya dari perguruan tinggi , berasal dari Banda Aceh sampai Jayapura .
Setiap nama penulis akan dicantumkan pada setiap bab yang ditulisnya .Dengan kata lain , tanggung jawab penuh berada pada dirinya sendiri .Editor jilid dan editor umum bertugas untuk menyerasikan isi yang mungkin akan bertumpang tindih .Hak cipta berada pada penulis yang bersangkutan .
Pemaparannya bersifat ensiklopedis tanpa teleologi yang menjurus ke satu tujuan .Yang penting adalah mengisi khazanah sejarah kita dengan segi – segi yang cenderung terlupakan .Pemerintah hanya memberikan fasilitas ,tetapi kerangkanya juga dibuat oleh para sejarawan .Dalam hal ini pemerintah tidak ikut campur tangan dalam penentuan isi . Isinya mencakup sejarah olah raga , sejarah ilmu pengetahuan ,sejarah arsitektur,sejarah perikanan ,sejarah tenaga kerja ,sejarah penyelengaraan haji ,sejarah seni lukis ,dan sebagainya .Penulisannya tidak hanya berfokus pada pada sejarah di Jawa dan Sumatera juga dari sudut teori dan metodologi penulisan penulisan sejarah yang semakin dinamis .
Taufik Abdullah ,editor umum SI , berulang kali menegaskan bahwa buku SI benar – benar merupakan buku baru dan meminta agar jangan menganggapnya sebagai pengganti buku SNI . Kedua buku ini berbeda dan tidak ada kaitannya .SI bukan revisi dari buku sejarah yang pernah ada .Buku SNI biar jadi sumber sekunder , bahan bacaan ,dan punya hak hidup sendiri . Buku SI lebih menekankan pada kelengkapannya dan lebih bersifat ensiklopedis,sebuah studi komprehensif tentang sejarah Indonesia .
Banyak fihak berharap sejarah akan kembali menjadi milik masyarakat ,bukan negara ,dan bukan sebagai hegemoni penguasa ,tetapi sebagai jati diri personal , masyarakat lebih – lebih sebuah bangsa .Sehingga cukup diperlukan Sejarah Indonesia .Dan pada akhirnya historiografi Indonesia menjadi benar – benar bermanfaat dan menjadi media pencerahan bagi masyarakat di kekiniannya yang akan segera menjadi masa lalu itu sekaligus untuk mengantar mereka melangkah ke masa depan yang lebih cerah .