Sabtu, 13 September 2008

Lebaran dan Air Mata

Dipoting oleh: Matekur
Email: matekur@yahoo.com

Matahari baru saja terbit. Gema suara takbir yang bersahutan sejak tadisore semakin jelas terdengar dari corong-corong masjid. Orang-orangdengan pakaian bagus bergegas memasuki sebuah mesjid besar di salahsatu jalan di Jakarta. Kebanyakan mereka memakai busana Muslim dengankepala ditutupi kopiah. Selembar sajadah terselempang di pundak mereka.
Sebagian wanita tampak sudah memakai mukena sejak berangkat dari rumah.Sebagian lainnya berpakaian kebaya sambil menjinjing mukena dan sajadah.Anak-anak tidak lupa dibawa serta.
Meskipun sebagian besar jamaah berjalan kaki, namun tidak sedikitdiantara mereka yang datang ke masjid itu berkendaraan, baik sepedamotor maupun mobil.Kebanyakan mobil-mobil yang datang dipenuhi oleh seluruh anggotakeluarga. Perasaan gembira tampak jelas pada wajah-wajah mereka yangpenuh senyum.Maklumlah, hari ini adalah Hari Raya Idul Fitri, hari kemenangan umatIslam, setelah satu bulan lamanya mereka menjalankan ibadah Ramadhan.

Suara takbir semakin menggema. Jamaah semakin padat memenuhi ruanganmasjid yang luas itu. Sebagian mulai tampak membanjiri teras masjidkarena bagian dalam masjid sudah penuh. Sebentar saja, teras pun penuhterisi jamaah. Beberapa anak kecil memanfaatkan kesempatan itu untukmenawarkan koran bekas kepada jamaah yang baru datang. Di Jakarta, apapun bisa dijual, tak peduli di hari raya seperti ini.
Bukan hanya anak-anak penjaja koran bekas saja yang sedikit “mengganggupemandangan”(tm) pagi itu. Beberapa pengemis pun tampak berjejer didepan gerbang masjid menyambut para jamaah dengan menyodorkan baskomplastik. Beberapa diantara mereka menggendong bayi yang masih mungil.
Seorang anak laki-laki dengan wajah kusut dan pakaian yang masih kotorterlihat berdiri di depan gerbang. Sebut saja namanya Husein. Usianyasekitar tujuh tahun. Ragu-ragu ia memasuki gerbang masjid.
Ia tahu kalau hari ini adalah Hari Raya Idul Fitri, sehingga ia inginmasuk ke dalam masjid untuk ikut merayakannya dengan sholat Id. Akantetapi ia juga sadar kalau keadaan dirinya yang kusut dan tak terurusitu bisa menjadi pusat perhatian jamaah lain yang berpakaian rapi.
Husein memang mematung di depan gerbang. Beberapa rombongan jamaah yanghendak masuk ke masjid menyadarkan dirinya untuk segera menyingkir danmemberi jalan kepada mereka. Anak itu segera menepi. Diurungkan niatnyauntuk masuk ke gerbang masjid.
Kini ia sandarkan tubuhnya di pagar besi yang mengelilingi masjid. Daripagar itu ia bisa melihat bagaimana ramainya suasana halaman masjid olehpara jamaah dengan pakaian baru aneka warna. Anak-anak seusianya tampakduduk bersila di samping orang tua mereka dengan baju baru, kain sarungbaru dan peci yang juga baru. Kontras sekali dengan dirinya yang lusuholeh debu dan pakaian yang kotor.
Terbayang dalam ingatannya ketika tahun-tahun lalu ia masih bisamenikmati suasana lebaran yang penuh kebahagiaan bersama kedua orangtuanya. Pagi-pagi, ia sudah dibangunkan oleh tangan lembut ibunya.Terdengar suara takbir dari masjid dekat rumahnya. Kue-kue dan ketupattersaji di meja makan. Ia dan anak-anak seusianya tidak lupa ikut orangtua mereka sholat di masjid atau tanah lapang.Tawa canda tampak darimereka setiap kali bertemu. Mereka seolah saling memperlihatkan bajubaru yang mereka pakai.
Tapi itu dua tahun lalu, ketika kedua orang tuanya masih berada disisinya. Sebab beberapa bulan selepas kenangan manis itu, kedua orangtuanya harus bercerai.Sebagai seorang anak kecil, ia tidak mengerti mengapa kedua orang tuanyaharus bercerai, sehingga ia harus menjadi korban dari sikap egoismekedua orang tuanya.
Beberapa bulan kemudian , ia masih bisa merasakan kasih sayang ibunya ,meski tidak tahu lagi kemana ayahnya pergi. Tetapi lewat tiga bulan dariperceraian kedua orang tuanya, ibunya terpaksa kawin lagi dengan lelakilain. Parahnya, lelaki itu juga membawa ibunya pergi ke Jakarta. Konon,ayah tirinya itu punya pekerjaan di Jakarta meskipun hanya sebagaipekerja kasar.
Husein sendiri dititipkan kepada neneknya dari pihak ibu. Maklumlahsejak menikah, ayah dan ibunya memang menumpang di rumah neneknya itu.Karena itu, Husein sudah dekat dengan sang nenek meskipun tetap saja iamerasakan kehilangan kasih sayang kedua orang tuanya. Kalau saja iabesar, ia ingin sekali meninggalkan neneknya dan pergi ke Jakarta untukmenyusul kedua orang tuanya.
Sebenarnya, neneknya sendiri tidak memiliki penghasilan yang memadai. Diusianya yang sudah uzur, ia terpaksa menghidupi dirinya dan cucunyadengan kerja serabutan. Kadang ia masih ikut menjadi kuli di sawah ataukerja apa saja yang bisa mendatangkan sesuap nasi bagi dirinya bersamacucunya. Husein sendiri kerap kali membantu neneknya. Ibunya yang kononikut suaminya ke Jakarta tidak kunjung kabar beritanya. Jangankanmengirimkan uang untuk mereka, mengirimkan kabar saja tidak pernah.
Sampai akhirnya derita yang harus ditanggung Husein mencapai puncaknyaketika minggu lalu sang nenek pun akhirnya pergi untuk selama-lamanya.Neneknya meninggal dunia setelah dua hari menderita sakit. Para tetanggaberusaha mencari alamat ibunya untuk mengabari perihal kematian neneknyaitu. Tetapi tak satu pun yang tahu dimana alamat ibu Husein berada.Akhirnya jenazah sang nenek terpaksa dimakamkan tanpa kehadiran anakperempuan satu-satunya itu.
Selepas neneknya meninggal, beberapa saudara jauh dari neneknya mencobamerayu Husein agar mau tinggal di rumah mereka. Akan tetapi Huseintampaknya tidak bisamenerima kebaikan hati mereka. Mungkin ia merasa kurang mengenal mereka.Maklumlah mereka memang saudara jauh yang jarang datang ke rumahneneknya.
Akhirnya, satu hari setelah kematian neneknya, Husein nekad pergimeninggalkan kampung halamannya. Dengan bekal seadanya, ia pergi keJakarta untuk mencari ibunya. Ia sendiri tidak pernah membayangkanseperti apa sesungguhnya kota Jakarta. Ia memang pernah melihatnya,tetapi hanya lewat sinetron di televisi.
Husein pergi ke Jakarta dengan menumpang beberapa kendaraan. Darikampungnya di sebuah desa di Jawa Barat, ia menumpang mobil bak terbukayang kembali ke kota Kabupaten setelah mengantarkan barang-barangdagangan seorang pemilik toko.
Beruntung sang sopir mau mengantarkannya sampai ke terminal. Dariterminal ia menumpang bus jurusan Jakarta dengan gratis karena kebaikansang kondektur yang kasihan melihat Husein. Apalagi, seminggu menjelangIdul Fitri seperti ini, bus yang ditumpanginya justru kosong jika menujuJakarta.
Sampai di Kampung Rambutan, Husein langsung bertanya ke sana kemarimenanyakan orang-orang yang ditemuinya.Ia mengira mencari orang di Jakarta sama mudahnya seperti mencari orangdi kampungnya. Ternyata, semua orang yang ditanyainya malah memarahikebodohannya yang mencari orang tuanya tanpa kejelasan alamat sedikitpun.
Husein tidak mau menyerah. Ia merasa sudah terlanjur sampai di Jakarta.Pantang baginya kembali ke kampung halamannya. Apalagi ia merasa sudahtidak ada lagi saudaranya di kampung halamannya. Untuk apa kembali lagi?Sementara di ibukota ini, ia masih memiliki peluang untuk menemukanibunya, meskipun ia tidak tahu sampai kapan cita-citanya itu bisaterwujud.
Untuk mengganjal perutnya, ia berusaha mengamen dari satu bus ke buslainnya tanpa menggunakan alat musik apa pun. Ia mengamen hanyabermodalkan suara dan tepuk tangannya saja. Jika malam menjelang, iamencari tempat tidur di pinggir-pinggir toko atau terminal. Beruntung iabelum pernah dijahili oleh para preman.Dan pada hari kelima kedatangannya di Jakarta, Idul Fitri pun tiba.
Suara orang ramai keluar dari masjid menyadarkan lamunan Husein.Anak-anak seusianya berlarian dengan baju baru. Sebagian lainnyabergandengan tangan dengan ibu bapaknya. Tiba-tiba Husein kembaliteringat ibu bapaknya. Wajah neneknya juga berkelebat di benaknya. Tanpadisadari, setetes air hangat terbit di sudut kelopak matanya. Iabenar-benar merindukan orang-orang yang dicintainya itu.
Ternyata, tanpa ia sadari, sepasang suami isteri yang mobilnya harusantri keluar dari gerbang masjid, memperhatikan tingkah lakunya. Merekatrenyuh menyaksikan seorang anak yang berwajah polos dengan penampilankusut tampak melamun menerawang denga air mata yang tak mampu ditahan.Mereka tidak bisa membayangkan bagaimana jika nasib serupa menimpaanak-anak mereka, meskipun sampai saat ini mereka belum juga dikaruniaiseorang anak.
Suasana gerbang masjid yang semrawut membuat mobil pasangan yang sudahtujuh tahun belum dikaruniai anak ini tidak bisa bergerak. Entah apayang menggerakkan hati wanita itu, ketika tiba-tiba ia membuka pintumobil. Sejenak ia menatap wajah suaminya. Mata sang suami tampak memberiisyarat kalau ia menyetujui tindakan isterinya.
Sang isteri bergegas menghampiri Husein yang hendak bersiap pergimeninggalkan tempat itu. Sedikit gugup dan agak kesulitan untuk memulaimenyapa Husein, perempuan yang sudah lama merindukan hadirnya seoranganak dalam rumah tangganya itu, akhirnya memberanikan diri menurutinaluri rasa sayangnya menyapa Husein.
“Ibumu dimana?” tanya perempuan itu. Husein terkejut bukan kepalang. Iatidak mengira kalau perempuan itu ternyata menyapanya. Padahal, ia belumsempat menyekaair matanya.
Husein tidak mampu menjawab pertanyaan lembut itu. Ia seolah menemukankelembutan seorang ibu yang begitu lama dirindukannya. Ia hanya mampumenggeleng karena air matanya semakin deras mengucur di pipi.
“Dimana ibumu?” tanya wanita itu lagi.
Husein berusaha keras melawan perasaannya, tetapi ia tidak mampu.Berkali-kali ia mencoba mengusap air matanya, tetapi air bening ituseolah tumpah begitu saja, tak mampu dibendungnya.
Perempuan itu tampaknya semakin penasaran sekaligus merasa kasihankepada Husein. Ia segera membungkuk, lalu duduk berjongkok agar bisalebih dekat lagi dengan anak malang itu. Diberanikan dirinya untukmenyentuh kepala Husein. Lalu ia mengusapnya perlahan-lahan.
“Siapa namamu?” tanya wanita itu sambil menatap wajah Husein. Wanita itumelihat kepolosan di mata anak itu, juga duka yang begitu dalam.Tampaknya ia bisa membaca kepedihan dan duka Husein.
Mendapat perlakuan penuh kasih seperti itu, Husein semakin haru. Iatidak habis pikir. Betapa tidak, hampir satu minggu ia menjelajahibukota mencari ibunya, tetapi tak ada satu orang pun yang bersikap baikpadanya, apalagi menunjukkan perhatian yang begitu besar seperti wanitaini.
Sambil mengusap air matanya, ia mencoba memandang wanita itu. Wanita itumasih memandangnya dengan tatapan penuh kasih seorang ibu. Aneh,tiba-tiba perasaan haru yang besar merayap di hati Husein. Ia seolahmerasakan kembali tatapan dan kasih sayang ibunya yang sudah lama tidakdirasakannya. Tanpa sadar, ia memeluk wanita itu, seolah memeluk ibunyasendiri yang begitu lama tidak pernah mendekapnya. Air mata pun semakinderas mengalir dari pipinya membasahi busana Muslimah wanita itu.
Wanita itu segera menyambutnya. Ia mengelus punggung anak malang itu.Tanpa terasa, air matanya ikut menitik dan jatuh di pipinya. Ia bisamerasakan kesedihan dan kerinduan seorang anak yang mendambakankehangatan orang tuanya. Perlahan ia lepaskan pelukannya dan dipegangnyapundak Husein dengan lembut.
“Kamu tinggal dimana?” tanya wanita itu penuh harap.Matanya benar-benar menyelidik, berharap Husein segera menjawabnya.
, saya tidak punya rumah di sini. Saya mencari ibu. Katanya ibu keJakarta,”jawab Husein.“Dimana tinggalnya?” tanya wanita itu lagi.
Husein menggeleng, tetapi kemudia ia berucap, “Sudah hampir setahun ibupergi. Saya tidak tahu kemana. Kata nenek, ibu dibawa bapak tiri saya keJakarta. Jadi saya pergi ke Jakarta. “Dimana nenekmu?” tanya wanita itu.
“Nenek meninggal satu minggu yang lalu di kampung. Saya, saya tinggalsendiri. Bapak sudah lama pergi. Bapak kawin lagi. Saya tidak tahudimana,” cerita Husein.
Mendengar pengakuan polos Husein, wanita itu semakin terharu. Nalurikeibuannya yang lembut membuatnya tak mampu menahan tetesan air beningyang perlahan merambat di pipinya. Suaminya yang sejak tadi menunggu dimobil yang sudah menepi, akhirnya turun juga. Ia bisa melihat keharuandi mata isterinya, didekatinya isterinya sambil berjongkok memandangHusein.
“Maukah kamu menganggap saya ibumu?” tanya wanita itu.Husein tidak bisa berkata apa-apa. Ia hanya mampu memandang sebentarsepasang suami isteri yang menatapnya penuh haru dan kasih. Iamembayangkan, betapa bahagianya jika dua orang di depannya itu adalahayah dan ibunya, dua orang yang begitu dirindukannya.
“Maukah engkau tinggal bersama kami? Anggaplah kami orang tuamu,” ujarwanita itu dengan suara sedikit bergetar. Husein semakin terharu.Perlahan ia tegakkankepalanya yang sejak tadi lebih banyak tertunduk. Mata polosnya menatapsepasang suami isteri di depannya dengan penuh tanya.
“Ikutlah dengan kami,” tiba-tiba suami perempuan itu ikut bicara. Iamemegang bahu Husein. Lagi-lagi Husein tidak mampu menahan harunya. Iarebahkan wajahnya dibahu lelaki itu. Air matanya belum juga reda. Isteri lelaki itu kembalimengusap kepala Husein.Jangan takut, Nak. Meskipun orang tuamu belum engkau temukan, kamibersedia menjadi pengganti mereka. Jadilah anak angkat kami,” bujukisterinya lagi.
Suami wanita itu mengangkat kepala Husein dan kembali memandangnyadengan penuh rasa sayang. Sorot matanya menunjukkan betapa iabenar-benar ingin mengajak Husein menjadi bagian dari keluarganya.
“Ikutlah dengan kami. Jadilah anak angkat kami,” ucap lelaki itu sambilmemegang tangan kanan Husein. Isterinya pun segera berdiri dan memegangtangan kiri Husein.Tanpa bisa menolak lagi, Husein pun mengikuti kedua pasangan suamiisteri itu menuju mobil mereka. Begitu mobil dibuka, Husein berhentisebentar. Ia ragu-ragu.“Tak apa. Masuklah! Anggaplah kami orang tuamu!” ujar si suami. SetelahHusein masuk, mobil pun segera pergi diikuti tatapan jamaah lain yangtampak keheranan.
Sejak saat itu, Husein tinggal di rumah pasangan suami isteri tadi. Iadianggap anak oleh mereka. Tapi, Husein tetap tidak menyerah. Ia terusberusaha menemukan kedua orang tuanya meskipun sampai hari ini, setelahsatu tahun kedatangannya di ibukota, usahanya tetap sia-sia.
Husein hanyalah salah satu contoh dari anak-anak yatim yang masihberuntung karena masih ada orang yang mau mengasihinya. Masih banyakanak-anak kita yang berkeliaran di jalan-jalan tanpa seorang pun yangpeduli apalagi melindungi dan mengasihi mereka. Semoga di hari yangfitri nanti kita bisa berbagi kebahagiaan kepada mereka yang kurangberuntung, terutama anak-anak yatim di sekitar kita.
Amiin.