Sabtu, 17 Mei 2008

Televisi menjadi sekolah kedua bagi anak

di kutip dari Republika Online: Minggu, 08 Juni 2008
http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=336835&kat_id=3
oleh matekur http://matekur.blogspot.com/

Televisi menjadi sekolah kedua bagi anak. Sekolah yang berbahaya. Laksanatamu tak diundang. Siaran televisi datang dan membikin si buyung atausi upik lekas matang. Ibarat buah mangga yang dikarbit, para bocah inidipaksa dewasa sebelum waktunya lewat ajaran-ajaran pop khas layarkaca: Kawin cerai, selingkuh para selebritis, atau pacaran di usiadini. Selamat datang di surga anak-anak pedoyan televisi! Surveitermutakhir UNICEF pada 2007 silam bak dering jam weker yang pantasmembuat orangtua awas. Kata badan PBB itu, para bocah di Indonesiaterpekur rata-rata lima jam sehari di depan layar kaca atau totaljenderal 1.560 hingga 1.820 jam setahun. Angka ini, menurut UNICEF,jauh lebih gemuk ketimbang jumlah belajar mereka yang 1.000 jam setahundi sekolah. Makajadilah kotak televisi sekolah tandingan bagi anak-anak ini. Naasnya,jika diamsalkan sekolah, maka televisi adalah sekolah yang berbahaya.Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA) mengantongi data, hanya 30persen acara televisi yang aman dikonsumsi anak pada 2006. ‘’Angkanyatak berubah banyak pada 2007,’’ ujar Boby Guntarto, penggagas HariTanpa Televisi dari YPMA, yang siap merilis angka termutakhir bulandepan. Disebutsekolah berbahaya lantaran, ya itu tadi, kotak televisi sesungguhnyadijubeli materi-materi khusus untuk orang dewasa. Tayangan infotainmentmenggeruduk di pagi hari tatkala anak tengah sarapan. Tayangan sinetrontumpah ruah di layar kaca bak air bah dari sore hingga menjelang tidur.Walhasil, kata B Guntarto,’’Bocah-bocah zaman sekarang sudah terbiasadengan istilah kawin, cerai, atau selingkuh,’’ tutur dia. ‘’Kata-kataatau perilaku ini semestinya konsumsi orang dewasa.’’ Maka,alangkah malangnya anak-anak (zaman sekarang) ini, kata psikologpendidikan dari Lembaga Pendidikan Optima Solo, Niken Iriani. Keceriaandan kepolosannya mereka—disadari atau tidak—berpeluang terbang akibatmasuknya persoalan orang-orang dewasa ke dalam otak mereka. Lewattelevisi. Dan,bukannya musykil ‘peluru’ layar kaca ini kelak membetikkan gangguanpsikologis dalam diri sang bocah. Gejala emosional itu muncul danmembentang di antara dua titik bandul: Dari peniruan tindak kekerasanhingga—yang kurang ekstrem—pertanyaan-pertanyaan di luar dugaan. ‘’Pak,bercumbu itu apa?’’ tutur Syifa Kamila, bocah usia 5 tahun, kepada sangayah, Muhamad Julianto (32) warga Puri Cipageran, kota Cimahi, JawaBarat. Yang ditanya kontan terperanjat tetapi kemudian tersenyum kecutdan bergumam dalam batin: Pasti gara-gara televisi! Usaimengumpat, Julianto sekaligus bertanya: Apa gerangan yang membikinacara televisi bagaikan tumpukan sampah penebar racun bagi anak-anak? ‘’Kayak limbah B3 aja,’’ seloroh karyawan bank swasta itu. Dewa itu bernama rating.Ia yang memberi kata putus: Program televisi apa yang mesti diproduksi,diabaikan, bahkan dilenyapkan sama sekali dari layar kaca. Dirilis olehAGB-Nielsen Media Research, rating menunjukkan seberapa besar penonton sebuah tayangan televisi. Kian tinggi rating, kian besar peluang program tersebut kebagian kue iklan yang nilainya ratusan juta hingga miliaran rupiah itu. Rating pun mulai menebar sihirnya. Program stasiun televisi yang ditabalkan AGB-Nielsen memiliki ratingtinggi, mulai ditiru stasiun televisi lainnya. Terjadi duplikasi disana sini. Inilah mengapa pelbagai tayangan yang tampak serupa tumplekdi banyak stasiun televisi nasional—yang jumlahnya ada 11 saat ini. Padahal, dan celakanya,’’Program dengan ratingtinggi belum tentu berkualitas,’’ ujar Agus Sudibyo, deputi direkturYayasan Seni Estetika dan Teknologi (SET). Hal itu dikukuhkan olehhasil riset yang dihelat yayasan SET bekerjasama dengan 16 lembagasepanjang Maret hingga April 2008 lalu. Hasil riset diungkap Rabu pekanlalu (28/5) di Jakarta. Riset, ujar Agus, dilakukan dengan metode Peer Review Assessment,di mana sekelompok orang (220 orang) dengan kapasitas pengetahuanmemadai memberi penilaian kualitatif terhadap 15 acara berating tinggiversi AGB-Nielsen. Hasilnya? Sebagian besar acara be-rating tinggi justru berkualitas ‘jongkok’. Acara-acaraini dinilai tidak memberi model perilaku yang baik, bertabur kekerasandan pornografi, tidak meningkatkan empati sosial, dan tidak ramah anak.(lihat boks). Padahal acara-acara ‘sampah’ ini bertaburan dan kian mensesaki layar kaca—atas nama rating dan demi misi memburu iklan. Inilah jawaban atas pertanyaan Julianto: Mengapa acara televisi kayak limbah B3? Takkeliru bahwa televisi telah memberi pemeringkatan usia. Misalnya ‘D’untuk tayangan konsumsi dewasa, ‘SU’ untuk semua umur, dan ‘BO’ untukbimbingan orang tua. Tapi bagi Santi Indra Astuti, aktivis MediaLiterarcy Bandung, pembatas ini bagaikan pagar ilalang yang mudahditerobos anak-anak. Santi tak percaya itu. Sementara televisi adalahteror subtil yang perlu ditangani serius. Kotakelektronik ini jelas menyumbang saham besar bagi pendangkalannorma-norma di masyarakat. Tren pemakaian rok mini di kalangan remaja,misalnya, muncul setelah diabsahkan lewat media elektronik. Televisijuga berperan dalam mengikis kepekaan masyarakat terhadap banyak hal.“Dahulu anak-anak takut melihat darah. Lantaran sering melihat ditelevisi lantas menjadi biasa, bahkan menjadi hiburan tersendiri,”tutur ibu dua anak ini. Dilayar kaca, lanjut dia, kehidupan seringkali digambarkan penuh konflik.Sekolah adalah tempat menakutkan. Guru digambarkan aneh. Siswa kutubuku dianggap orang aneh. Penggambaran semacam ini berpengaruh kepadapandangan anak-anak terhadap sekolah. ''Anak menjadi sulit membedakanrealitas simbolik dan real,” ungkapnya. Salahsatu jalan keluar adalah membuat anak menjadi lebih kritis terhadaptayangan yang dikonsumsi. Caranya, ujar Santi, adalah dengan membukaruang diskusi dengan anak saat menonton. Atau: Matikan televisi Anda! Agen Perubahan yang Mesti Berubah Agent of changeatau agen perubahan adalah predikat yang kerap ditabalkan kepada mediamassa, termasuk kotak televisi. Sebelum berharap terlampau jauh,bertanyalah: Bagaimana sih kualitas tayangan televisi di negeri ini, secara umum? Pararesponden ini tak memberi acungan jempol. Sebagian besar memberi nilai‘biasa saja’ untuk program-program acara yang berseliweran di kotaktelevisi—sang agen perubahan itu Apa televisi menambah pengetahuan?Biasa saja. Apa meningkatkan empati sosial? Biasa saja. Apameningkatkan daya kritis? Biasa saja. Apa memberi informasi untukpengawasan? Biasa saja. Apa memberi model perilaku yang baik? Biasasaja. Penilaian Kualitas Program Acara Televisi Secara Umum 0,5 persen : sangat baik27,2 persen : baik41,9 persen : biasa saja24,6 persen : buruk4,2 persen : sangat buruk1,6 persen : tidak tahu Hiburan Berbahaya Acarahiburan adalah tayangan yang paling digandrungi anak-anak dan dinilaipaling aman dinikmati si buyung dan si upik. Tetapi riset yang digelaroleh yayasan SET mengungkap paradoks. (lihat angka) 80,1 persenresponden menyatakan bahwa tayangan hiburan di televisi justru tidak ramah anak alias berbahaya jika ditonton oleh anak-anak. 68,6 persenresponden menyatakan tayangan hiburan di televisi buruk dan sangatburuk dalam memberi model perilaku yang baik kepada pemirsanya. 50,8 persenresponden menyatakan bahwa program hiburan di televisi amat buruk/burukdalam meningkatkan empati sosial, yakni memberi kesadaran untuk peduliterhadap orang lain. 70,7 persen responden menyebut program hiburan di televisi menunjukkan kualitas buruk dalam mengangkat tema yang relevan dalam kehidupan masyarakat. (mg13/mg14/mg20/vie/nri/imy )-

Tidak ada komentar: