Sabtu, 17 Mei 2008

Reunited, reunion, reuni…

dikutip dari www.kolomkita.com
oleh matekur

Reunited, reunion, reuni…
Segala kata tentang reuni… reuni. Sebuah pertemuan setelah lama berpisah. Kenangan masa lalu yang berserak ditata kembali. Cerita-cerita masa kini seolah tak menghapuskan kenangan yang telah dilalui bersama. Kisah hidup saat sekarang yang pastinya semua berbeda, tak sama seperti masa dulu.

Invitation

Join for the reunion….! Go reunited!

Just For: Rheina

Will be hold in Unesa University, Sedati street Gedangan 06th

2008, July, 22nd , 8.00 pm-till drop

fee: Rp 100,00

Undangan reuni dibacanya lagi. Rheina membalik-balikkan kertas undangan itu. Kertas beramplop putih yang diantarkan salah seorang teman sore kemarin. Awalnya Rheina antusias. Sekarang juga, sih. Tapi, entahlah. Ada sesuatu yang mengganjal dalam hati. Ada sesuatu yang ia ingin buang dari masa lalunya. Apakah sudah berhasil dibuangnya? Tidak. Tepatnya belum. Kini bila ia akan bertemu kembali setelah sekian lama dengan sang kenangan, ia tak tahu apakah masih mau dan mampu untuk membuangnya sekali lagi.

“Gimana, Rhein? Ikut, kan?” Tanya Soraya saat ke rumah Rheina sore itu. Soraya, sepertinya salah satu panitia, mengkonfirmasikan kesediaan teman-teman untuk hadir. Juga untuk memberi kepastian, yang mau ikut diwajibkan membayar lebih dahulu. Soraya kebagian jatah menagih Rheina.

“Hm… ikut. Insya Allah. Siapa saja yang pasti ikut?” Tanya Rheina. Ia pikir, kalau banyak yang ikut pasti asik juga. Sepi, kan kalau yang ikut hanya beberapa orang? Perlu reuni ulangan sepertinya.

“Udah 50% kok yang pasti. Mereka juga sudah pada bayar.”

“Siapa saja?” Tanya Rheina lagi karena sepertinya Soraya belum menyebut nama-nama yang sudah pasti ikut.

“Tessa, Nicky, Vinta, Anang, Ferdi, Ardian, Awan, Egi, Irwan, Leena, Wildan, yah.. pokoknya banyaklah, nggak bisa disebutin satu-satu. Pokoknya mereka-mereka itu dan geng-gengnya mereka waktu dulu. Gimana, Rhein…? Mau bayar kapan?” Tanya Soraya sudah masuk pokok pembicaraan. Rheina terdiam sejenak, berusaha mencerna nama-nama teman lamanya itu. Egi. Nama itulah yang ada dalam kenangannya selama ini. Egi datang. Batinnya menekankan. Salah satu sudut hatinya bertanya, benarkah mau menemuinya lagi? Benarkah? Lama Rheina menimbang. Soraya tak terlalu peduli, asal Rheina segera bayar saat itu juga. Soraya sudah capek menagih uang reuni teman-teman lainnya, karena itu dia menunggu dengan sabar saja dengan keputusan Rheina. Egi datang. Batin Rheina menegaskan lagi. Akhirnya Rheina memutuskan.

“Oke, aku ikut. Tunggu sebentar, aku ambil uang dulu,” Rhein masuk ke dalam rumah dan kembali ke ruang tamu dengan selembar seratus ribu.

“Ini,” Rhein menyodorkan uang itu pada Soraya. Soraya menerimanya, mencatat nama Rheina dalam daftar, lalu menulis kuitansi dan memberikannya pada Rheina.

“Terima kasih,” Soraya menyerahkan kuitansi. Ia pun segera mohon pamit pergi ke rumah teman-teman lainnya untuk menagih uang reuni.

***

“Rain,” ujar bibir mungil Egi. Rain dan Rhein memang pengucapannya sama. Tapi Egi lebih suka menuliskannya begitu. Saat penulisan daftar piket kelas, saat pembagian tugas di kelas, pembagian peran dalam drama kelas, dan lainnya, Egi selalu menuliskan Rhein dengan Rain.

“Panggil Rheina,” balas Rheina saat itu. Ia tak suka Egi memanggilnya seperti itu. Bagi Rheina itu terdengar seperti ejekan.

“Ok, ok, Rainy…,” kata Egi cengengesan. Rainy dan Rheina. Pengucapannya mirip. Apalagi saat seorang bule berkunjung ke sekolah beberapa waktu lalu. Dia mengajarkan pengucapan dalam bahasa Inggris yang benar. Dan memang pengucapan rainy terdengar seperti Rheina. Rain terdengar Rhein. Sejak itulah Egi selalu menggoda Rheina dengan ucapan-ucapan itu. Walaupun Egi senang mengucapkannya, Rheina sebal setengah mati.

“Rheina, bukan rainy,” Rheina jadi geram dengan Egi. Dia mendelik dan bersikap seolah mau menerkan Egi sampai lumat!

“R-a-i-n-y,” ucap Egi lagi dengan pengucapan yang sengaja dibuat salah dan logat lokal yang kentara, sehingga kelihatan sekali bahwa rainy jelas berbeda dengan Rheina. Rheina semakin mencak-mencak. Mereka adu mulut di kelas. Memang sudah hal biasa antar siswa adu mulut. Maklumlah anak-anak…

***



Ingatan masa lalu muncul kembali. Memang dulu Rheina lebih senang dipanggil dengan nama aslinya. Tapi sekarang lain. Sekarang Rheina merindukan panggilan Rainy. Panggilan pendek Rain. Apakah nanti saat reuni Egi akan memanggilnya seperti itu lagi? Ah, andai saja. Rheina berandai-andai.. seandainya saat itu bisa diputar kembali. Kenangan itu tak hanya disimpan dalam memori, tetapi juga diabadikan dalam buku diary khas anak kecil sehingga di dalam otak Rheina tak pernah mau menyimpan ingatan itu. Tetapi diary masa kecil itu sudah entah di mana. Tak ada yang tahu, mau tahu, ataupun mencari tahu keberadaannya.

Rain.

Rheina mengetikkan kata itu—tepatnya id—di meinmail.com, situs tempat Rheina mendaftar email. Internet-an di rumah sudah menjadi kebiasaannya kini. Minimal enam puluh menit sehari Rheina menggunakan internet, sekadar mengecek email, menulis blog atau diskusi ringan di milis. Ternyata selang beberapa menit saja, internet sudah mulai disconnect sendiri. Mulanya memang kecepatannya menurun, tapi kemudian disconnect. Rheina jadi kesal. Ia menatap langit dari jendela kamarnya. Hujan turun rintik-rintik. Padahal ini sudah mau musim kemarau. Cuaca memang sulit diprediksi sekarang. Semua gara-gara global warming. Ujung-ujungnya salah manusia juga. Sudahlah … Yang jelas kalau cuaca lagi buruk memang koneksi internet sering macet. Rheina yang sudah tak semangat internet-an segera mematikan komputernya dan go to bed! Gerimis-gerimis memang paling enak tidur.

Dhiny. Rupa gadis berwajah indo yang cantik itu berkelebat dalam benak Rheina. Fotonya yang terpampang di blog milik Egi masih teringat jelas. Gadis inilah yang kini mengisi hari-hari Egi. Tiap melihat halaman blog Egi, Rheina jadi kesal karena cemburu. Tetapi terkadang cuek dan bertekad, “selama janur kuning belum melengkung, masih ada kesempatan.” Tetapi ia lebih sering ia sebal melihat foto-foto mesra mereka. “Egi sekarang milik orang itu,” gerutunya dalam hati, sambil terus berusaha melupakan dan menghapus jejak Egi dalam hatinya. Rheina berusaha melupakan Egi dan mengubur segala perasaan rindu, kangen, dan sayangnya pada Egi. Lupakan! Batinnya selalu mengingatkan dan menegaskan. Selalu berteriak bila ia tak sengaja menginginkan Egi.

“Rhein, ada temanmu, tuh datang,” kata ibu Rheina sore itu. Rhein sedang chatting dengan orang menyebalkan di messenger. Dia jadi punya alasan untuk meninggalkan teman chat-nya yang reseh itu. Rheina segera ke ruang tamu. Ternyata yang datang adalah Soraya. Rheina jadi berpikir, ada apa Soraya kemari? Perasaan dia sudah bayar uang reuni lunas!

“Ada apaan?” Tanya Rheina ogah-ogahan.

“Anterin ke rumah Egi, dong,” jawab Soraya cepat membuat kening Rheina berkerut, mata melotot, dan terbatuk-batuk.

“Ngapain?” Rheina tak habis pikir mengapa tanya hal seperti itu sampai harus ke rumahnya. Memangnya panitia reuni yang lain ada di mana?

“Egi belum bayar uang reuni,” sahut Soraya kalem.

“Besok aja kenapa?” Rheina berkata cepat. Dia malas sekali, dan mengapa harus dia?

“Dia keburu pergi ke Medan.”

“Oh, jadi nggak ikut reuni? Kemarin katanya ikut? Lagian nggak ikut, kok ditagih uang reuni sih?”

“Nggak tahu. Kemarin bilangnya mau ikut, tapi ternyata ada acara keluarga. Egi udah mau bayar, nggak apa-apa, dong, meskipun dia nggak ikut. Boleh juga, kan dia nyumbang, itung-itung buat tambahan dana,” kata Soraya santai. Rheina tetap kesal juga. Malas kan? Dirinya bukan panitia! Sekali lagi bukan!

“Kenapa harus aku? Emangnya temen-temen lainnya nggak ada yang tahu rumah Egi? Panitia lain? Di buku kenangan kan juga ada alamatnya?” sentak Rheina kesal.

“Panitia yang lain kan ngurusi temen-temen lainnya juga.. gak ada waktu lagi. Buku kenanganku dibawa mereka. Ayo, lah, Rhein.. Cuma kamu satu-satunya yang dapat aku mintain tolong. Ya? Please…., mumpung dia mau nyumbang… Kita kurang dana banget nih…,” jurus rayuan Soraya dikeluarkan. Rheina jadi agak tidak enak hati juga. Rheina terdiam. Apa dia mampu menguasai diri kala bertemu dengan Egi? Pikir Rheina. Hatinya mulai bergejolak tak karuan. Wajahnya menampakkan keberatan.

“Ya, udah, kalau kamu enggak mau.. Pinjam buku kenanganmu saja,” Soraya tampaknya memahami ketidakmauan Rheina.

“Hilang,” Aduh, rutuk Rheina dalam hati. Sekarang benar-benar tak ada pilihan lain! Rheina kesal dengan dirinya sendiri. Menghilangkan buku kenangan! Gara-gara ingin melupakan Egi, dia sengaja tak merawat buku itu dan sekarang sudah hilang. Soraya mengambil napas. Minta tolong antarkan tak mau, buku kenangan mau dipinjam saja hilang. Soraya jadi kehabisan akal.

“Atau kamu aja yang nyumbang.. jadi aku nggak perlu ke rumah Egi.. Kan udah ada kamu yang nyumbang,” sekarang Soraya malah mengancam Rheina membayarkan uang yang sudah disanggupi Egi. Rheina semakin cemberut.

“Iya, deh, aku anterin! Aku ganti baju dulu!” jawab Rheina akhirnya mengalah. Sekarang Soraya tersenyum simpul. Akhirnya!

“Rain, rain, rain, rain…., “ Egi melagukan kata-kata itu tanpa aturan nada sama sekali ketika Rheina dan Soraya tiba di rumahnya sambil menyediakan minum untuk mereka. Rheina diam. Ia mendengarkan kata “rain” dari mulutnya lagi. Ah, sudah berapa tahun dia tak mendengar Egi memanggil namanya seperti itu.

Egi yang sudah siap-siap pergi ke bandara meletakkan dua botol minuman di atas meja. Kemudian dengan sedikit berbasa-basi, Egi mengajak ngobrol keduanya. Sekedar bertanya kabar, kuliah di mana, dan lain-lainnya. Egi sesekali tersenyum pada Rheina, juga pada Soraya. Tatapannya yang tajam kala berbicara dengan Rheina masih sama seperti dulu. Membuat Rheina mengira Egi menyukai dirinya. Ketika itu pun Rheina juga menyukai Egi. Ternyata sikap Egi sama saja. Pun sekarang Egi sudah punya pacar, dia tetap memanggil Rhein dengan “rain”, dan tetap memandang Rheina dengan tatapan yang lekat. Sementara Rheina berusaha keras menghilangkan masa lalu, rasa sayang, rasa kangen pada sosok yang selalu membuat berdebar-debar.

Kini debaran hati yang selalu mendera jantung Rheina ketika hanya melihat foto Egi di internet, apalagi kini bertatap muka langsung, sudah hilang. Sama sekali tak ada, malah. Keringat dingin tak lagi keluar. Entah memang rasa itu telah hilang atau memang berhasil disembunyikan Rheina.

“Salam untuk teman-teman ya..,” kata Egi dari dalam mobil yang melaju di jalanan depan rumahnya kepada Rheina dan Soraya setelah keperluan mereka selesai. Mereka berdua baru saja mau menghidupkan mesin motor mereka.. Kedua gadis itu membalas dengan senyuman dan lambaian tangan. Dan mobil Egi perlahan menjauh.

“Rhein, terima kasih, ya…,” Soraya tersenyum senang, “aku pulang dulu, temenku nungguin di rumah, barusan dia sms,” lanjutnya lagi sambil menjabat tangan Rheina. Rheina membalas erat jabatan tangan Soraya seraya membalas tersenyum. Lalu Soraya pun dengan gesit memakai perlengkapan: helm, sarung tangan, masker.

Soraya segera menaiki motornya. Karena arah rumah mereka berlawanan kalau dari rumah Egi, maka mereka tadi membawa motor sendiri-sendiri. Soraya ke arah selatan dan segera melaju duluan, sepertinya buru-buru sekali.

Di lain pihak, Rheina masih memakai sarung tangannya pelan-pelan, sambil sesekali memandangi rumah Egi. Rheina tersenyum tipis. Baru kali ini dia pergi ke rumah Egi dalam rangka menemui Egi. Dia pakai helm standarnya, kemudian menaiki motornya. Mulai menghidupkan motor. Sekali lagi menoleh, melihat rumah Egi, sebelum benar-benar pergi meninggalkannya. Mungkin inilah kali pertama dan terakhir Rheina pergi ke rumah Egi.

Rhiena segera tancap gas pulang setelah puas memandangi rumah Egi yang besar dan luas. Perlahan hujan mulai turun rintik-rintik. Rheina tak mempedulikan hujan yang turun, ia tetap melaju cepat. Ia tak berhenti untuk sekedar memakai jas hujan. Ia tetap kebut motornya. Hujan lama-lama mulai deras. Butiran-butiran air mata Rheina mengalir di pipi, bercampur dengan air hujan. Benarkah? Benarkah hatinya sudah melupakan Egi? Saat menangis, tak ada orang peduli, semua orang hanya mengira itu air hujan, bukan air mata. Dalam hatinya meneriakkan kata “Egi, Egi, Egi” keras-keras. Meminta jangan pergi. Seolah kepergian Egi hari itu memang menandakan kepergian Egi dari hati Rheina selamanya. Tangis Rheina semakin pecah, tetapi hujan menghapus air mata itu, seolah menghibur Rheina. Biar hujan menghapus jejakmu, kata Peter Pan. Saat itu hujan mungkin memang sedang menghapus jejak Egi selamanya di hati Rheina.

“Rain, rain, rain, rain…., “ dendang lagu itu masih terngiang merdu…

*selesai*

Tidak ada komentar: