Minggu, 18 Mei 2008

Pembunuhan Politis dalam Sejarah Indonesia

Koran Jurnal Nasional, Minggu, 6 Januari 2008

Zulfikar dan Benazir Bhutto di Pakistan, Indira dan Rajiv Gandhi di India. Pembunuhan tokoh-tokoh politik juga terjadi di Indonesia. Tak pernah ada kasus yang diselesaikan tuntas
Pembunuhan Benazir Bhutto di Rawalpindi, Pakistan, 27 Desember 2007 silam menghentakkan ruang kesadaran kita. Benazir, perempuan pemimpin Pakistan yang baru saja pulang dari delapan tahun pengasingannya di luar negeri itu seolah mengikuti garis hidup mendiang ayahnya, Zulfikar Ali Bhutto yang tewas di tiang gantungan pada 1979.
Sementara, kisah yang sama juga dialami oleh keluarga Gandhi di India. Indira Gandhi, perdana menteri India tewas ditembak pada 31 Oktober 1984 oleh dua pengawalnya yang menganut agama Sikh. Aksi pembunuhan itu dipicu oleh perintah Indira kepada tentara India untuk menyerang Kuil Emas di Punjab. Di kuil tersebut para pengikut Sikh memusatkan aktivitas politik mereka untuk memerdekakan Punjab, lepas dari India. Sama dengan ibunya, Rajiv Gandhi, putra tertua Indira, tewas pada 21 Mei 1991 di tangan Thenmuli Rajaratnam, perempuan anggota Macan Tamil yang mengalungkan bunga berisi bom ke leher Rajiv.
Menyaksikan tragedi seperti terjadi di kedua negara tersebut seakan membuktikan bahwa politik memang identik dengan intrik dan kekerasan. Panggung politik dunia kerap diwarnai pembunuhan yang bermotif politik. Bukan saja di negara dunia ketiga seperti India, bahkan di Amerika Serikat sekali pun yang terkenal sebagai negara pengusung demokrasi pembunuhan politis pernah terjadi sebagaimana dialami Presiden John F Kennedy.
Di Indonesia, pembunuhan aktivis kemanusiaan Munir merupakan salah satu kasus yang paling banyak mendapatkan sorotan, baik dari publik dalam negeri maupun internasional. Munir tewas pada saat menumpang pesawat Garuda tujuan Amsterdam, Belanda pada 7 September 2004. Hasil pemeriksaan otopsi tim dokter Belanda menunjukan Munir tewas diracun arsenik. Hingga kini kabut misteri masih menyelubungi peristiwa pembunuhan yang bernuansa politik itu.
Pembunuhan Munir ibarat puncak kecil gunung es yang menyembul di permukaan laut, menyembunyikan kenyataan ada begitu banyak kisah pembunuhan politis dalam sejarah Indonesia modern yang belum terungkap hingga hari ini.
Kisah pembunuhan politis pertama pasca kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 terjadi pada Otto Iskanda Di Nata. Menurut keterangan resmi pemerintah Otto dibunuh oleh Laskar Hitam pada 20 Desember 1945 di Pantai Mauk, Tanggerang. Saat itu ia masih menjabat Menteri Negara yang membidangi keamanan.
Sebelum tewas di tangan Laskar Hitam, Otto yang dijuluki "Jalak Harupat" itu tergabung dalam panitia kecil yang bertugas merancang peraturan tentang kepolisian dan tentara kebangsaan. Dalam rapat PPKI 20 Agustus 1945 diputuskan pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang akan menyatukan berbagai elemen organisasi kelaskaran di seluruh Indonesia. Beberapa organisasi kelaskaran yang telah berjuang semenjak zaman Jepang merasa tak puas dengan pembentukan BKR kemudian mendirikan badan-badan perjuangan sendiri yang dikenal sebagai Laskar Rakyat. Mereka beraksi merebut gedung-gedung pemerintahan dan gudang-gudang senjata milik Jepang, sehingga tak jarang terjadi pertempuran yang banyak memakan korban jiwa. Otto bertanggungjawab untuk menyelesaikan persoalan itu.
Pada 26 Oktober 1945, seperti yang dicatat Soekirah, istri Otto, dalam buku hariannya, melalui telepon Otto dipanggil ke Jakarta. Baru saja tiba beberapa hari di Jakarta, Otto diculik pada Rabu, 31 Oktober 1945 pukul 11 siang. Sejak saat itu Otto hilang, sampai kemudian ada pengumuman resmi dari pemerintah yang menyiarkan nasib tragisnya. Jasad Otto tak pernah ditemukan, hanya sebungkus pasir yang diambil dari Pantai Mauk yang kemudian dikuburkan di Taman Pasir Pahlawan di Lembang, Bandung sebagai simbol jenazah Otto.
Tiga tahun setelah pembunuhan Otto Iskandar Dinata, tepatnya pada 2 Juli 1948, pukul 20:00 malam, Komanda Divisi Panembahan Senopati Letkol. Sutarto tewas ditembak seorang sniper yang hingga kini tak diketahui jatidirinya. Kasus itu bermuatan politik karena terjadi pada saat Kabinet Hatta menjalankan program Reorganisasi dan Rasionalisasi (Re-Ra) tentara Indonesia. Sebagai komandan dari sebuah divisi yang memiliki banyak pasukan bersenjata lumayan lengkap untuk ukuran masa itu, Sutarto menolak kebijakan Re-Ra. Alasan lain yang membuatnya dibunuh karena ia disebut-sebut simpatisan kaum kiri.
Saling tuduh tentang siapa yang membunuh Sutarto pun terjadi. Kelompok PKI menuduh para pengikut Tan Malaka yang tergabung dalam Gerakan Banteng dan Gerakan Revolusi Rakyat (GRR) sebagai dalang utama pembunuhan itu. PKI juga menduga Tan Malaka bermain mata dengan Hatta untuk menyaingi aktivitas kaum komunis di Indonesia.
Tan Malaka dan pengikutnya memang sengaja dilepaskan oleh Hatta dari Penjara Wirogunan, Yogyakarta dengan harapan supaya bisa mengimbangi kelompok PKI, terutama setelah Musso kembali dari Uni Soviet. Namun yang terjadi justru sebaliknya: kelompok Tan Malaka yang sebelumnya ditahan karena kasus 3 Juli 1946 itu mendirikan Persatuan Perjuangan yang banyak melancarkan kritik tajam pada pemerintahan republik pada saat itu. Tan Malaka berpendapat pemerintah terlalu lunak dalam menghadapi Belanda.
Atas perintah Soengkono, Komandan Divisi Brawijaya, Tan Malaka kemudian ditangkap di Kediri, Jawa Timur pada bulan Februari 1949. Letnan Dua Soekotjo, Komandan Batalyon Sikatan bawahan Soengkono berhasil menangkap Tan Malaka. Soekotjo kemudian memerintahkan kepada Soeradi Takebek untuk mengeksekusi Tan Malaka pada 21 Februari 1949 di desa Selopanggung, Kediri.
Baik dalam kasus Otto, Sutarto, maupun Tan Malaka tak pernah diselesaikan secara hukum. Pelaku pembunuhan tetap bisa melanjutkan hidupnya dengan tenang tanpa sedikit pun terjamah oleh pedang dewi keadilan. Bahkan Soekotjo, pemberi perintah pembunuhan Tan Malaka pensiun sebagai Walikota Surabaya dengan pangkat Brigadir Jenderal.
Pembunuhan politis dalam sejarah Indonesia seakan berjalan dalam garis yang menyerupai spiral. Ia berjalan terus ke depan, menembus ruang-waktu, namun tetap bertemu pada satu titik yang sama. Jika persoalan ini tak diselesaikan secara tuntas, niscaya akan terjadi kembali pada masa yang akan datang. Pembunuhan politis yang terjadi sejak saat Otto sampai dengan Munir, seolah sambung menyambung, menjadi benang merah sejarah yang tak pernah putus membawa duka di negeri ini.
Persoalan dalam sejarah Indonesia itu mau tak mau membawa kita kepada pertanyaan: sebagai apakah aktor utama pembunuhan Munir pada saat ia pensiun nanti?
Mailing list: http://groups.yahoo.com/group/mediacare/
Blog: http://mediacare.blogspot.com
http://www.mediacare.biz

Kebangkitan Nasional 2008 Melalui Kreatifitas Digital

INFO
dikutip oleh Matekur dari http://www.biskom.web.id/

Memasuki tahun 2008, Departemen Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia beserta seluruh pemangku kepentingan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) di Indonesia akan menggelar Indonesia Information and Communication Technology Award 2008 yang disingkat menjadi INAICTA-2008. INAICTA merupakan agenda tahunan sebagai penghargaan untuk mendorong tumbuh kembangnya industri teknologi informasi dan komunikasi di Indonesia.INAICTA pertama kali digelar pada tahun 2007 dan berlangsung dengan sukses. INAICTA-2008 cukup istimewa karena pada perhelatan akbar komunitas TIK Indonesia ini bertepatan dengan 100 tahun peringatan Kebangkitan Nasional.
Tahun ini, INAICTA mengusung tema “Kebangkitan Nasional Melalui Kreativitas Digital” dengan misi “mematangkan ICT industry di Indonesia” dan visi “memposisikan ICT sebagai pemungkin (Enablement) yang dapat digunakan oleh bangsa Indonesia untuk meningkatkan martabat bangsa di dunia International”. INAICTA-2008 bertujuan untuk meningkatkan kreatifitas profesional yang berpacu dalam pembuat solusi ICT, memacu penggunaan ICT disemua lini industri, mempersiapkan Pemain ICT Local untuk menghadapi kompetisi international, memacu pertumbuhan industri ICT.
Karya ICT putra-putri bangsa Indonesia sebenarnya tidak kalah dengan karya bangsa lain sehingga INAICTA 2008 ini merupakan ajang tepat untuk mengapresiasikan para aktivis ICT. Selain itu, INAICTA-2008 diharapkan bisa memacu kebangkitan industri TIK Nasional sesuai dengan semangat Kebangkitan Nasional yang telah diikrarkan 100 tahun silam oleh putra-putri bangsa.
Berbagai persiapan dilakukan oleh tim pelaksana untuk mensukseskan INAICTA 2008. Diantara yang dilakukan adalah menyiapkan persiapan pelaksanaan lomba termasuk mengisi website, melakukan registrasi lomba dan mengkoordinasikan pelaksanaan lomba, menyiapkan sosialiasasi, publikasi dan promosi. Kemudian tim pelaksana menyiapkan dan melaksanakan kegiatan penyerahan penghargaan (award), serta administrasi dan pengadaan anggaran. Kegiatan persiapan lainnya adalah untuk menghadapi perlombaan Internasional (training center) bagi para pemenang INAICTA 2008 yang akan tampil di ajang internasional.INAICTA 2008 juga didukung sepenuhnya oleh BISKOM sebagai media partner yang mempublikasikan berbagai kegiatan pada INAICTA 2008.
INAICTA-2008 berisi serangkaian acara yang dimulai pada bulan Maret 2008 dan berakhir pada bulan Agustus 2008. Kegiatan utama INAICTA 2008 adalah perlombaan karya dan inovasi di bidang ICT, seminar, workshop, ekshibisi, business matching program dan malam penganugerahan.
Launching diadakan pada hari ini, Senin, 3 Maret 2008 sebagai pertanda dimulainya berbagai rangkaian kegiatan INAICTA-2008. Menurut Mohammad Nuh, Menteri Komunikasi dan Informatika, INAICTA merupakan salah satu faktor memajukan ICT, maka untuk mensukseskan tidak bisa berjalan sendiri yakni harus berkolaborasi dengan siapapun yang punya kepedulian dengan ICT.“Lomba-lomba yang diadakan harus dikaitkan dengan competitivness. Namun jangan hanya sampai pada tahap kompetisi saja, kompetisi ini harus bisa sebagai pintu keluar untuk mengekspresikan talenta terhadap ICT sehingga kreativitas digital yang kita miliki bisa sebagai ujung tombak kebangkitan nasional,” ujar Muhammad Nuh saat launching INAICTA 2008 di kantor Depkominfo, Jakarta (3/3).
Selama bulan Maret hingga Mei 2008, panitia akan melakukan strategi “Jemput Bola” dengan melakukan road show kebeberapa kota di Indonesia, diantaranya Jakarta, Bandung, Surabaya, Denpasar, Makassar dan Medan dengan harapan mendapatkan lebih banyak peserta dengan kualitas yang lebih baik lagi.
Pendaftaran kompetisi dibuka mulai bulan April sampai pertengan Mei 2008. Pendaftaran dilakukan secara online di website INAICTA 2008 http://www.inaicta.web.id/ Setelah itu dilakukan penjurian mulai bulan Juni 2008 hingga akhir Juli 2008 untuk menilai hasil dari karya peserta yang masuk.
Bulan Agustus merupakan puncak dari kegiatan INAICTA 2008 sehingga banyak acara yang digelar. Diantaranya workshop untuk semakin mematangkan pengetahuan mengenai ICT seperti Blog, Wikipedia, Open Source Software, Animasi, Robot, Game Developer dan Google Mobile. Disediakan juga Boothcamp sebagai tempat untuk menampilkan produk yang berkualitas dan memiliki potential buyer besar di Indonesia.
Kategori INAICTA-2008 yang diperlombakan sebanyak 10 kategori dengan 10 sub kategori, terdiri dari: e-Government, e-Business (finance, automation), e-Education, e-Entertainment, Supply Chain Management, Tools & Infrastructure, Research & Development, Student Project (SD, SMP, SMA, Perguruan Tinggi), Robot (SD, SMP, SMA, Umum), Smart Campus. Diantara beberapa kategori akan dilombakan pada saat eksibisi seperti e-inclusion, Robot, User Generated Content, Games, Festifal Film Animasi, Web Sekolah, Merakit Komputer dan Over Clocking.
Pemenang maupun peserta yang memiliki karya potensial mendapat kesempatan untuk bertemu dan ‘menjual’ karyanya kepada investor sehingga menumbuhkan jiwa technopreneurship dikalangan putra-putri bangsa untuk terus berkarya dimana karya tersebut akan digunakan dan tidak saja menjadi tuan rumah di negeri sendiri tetapi juga mampu menjadi konsumsi yang berkualitas dan berjaya di negara lain.
Dengan dukungan komunitas TIK di Indonesia, INAICTA-2008 akan menjadi tonggak penting dalam perkembangan dan kebangkitan TIK di Indonesia menuju masyarakat berbasis pengetahuan di tahun 2015.
SHARETHIS.addEntry({ title: "INAICTA-2008 : Kebangkitan Nasional Melalui Kreativitas Digital", url: "http://www.biskom.web.id/2008/03/03/inaicta-2008-kebangkitan-nasional-melalui-kreativitas-digital.bwi/" });
ShareThis

Sabtu, 17 Mei 2008

Televisi menjadi sekolah kedua bagi anak

di kutip dari Republika Online: Minggu, 08 Juni 2008
http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=336835&kat_id=3
oleh matekur http://matekur.blogspot.com/

Televisi menjadi sekolah kedua bagi anak. Sekolah yang berbahaya. Laksanatamu tak diundang. Siaran televisi datang dan membikin si buyung atausi upik lekas matang. Ibarat buah mangga yang dikarbit, para bocah inidipaksa dewasa sebelum waktunya lewat ajaran-ajaran pop khas layarkaca: Kawin cerai, selingkuh para selebritis, atau pacaran di usiadini. Selamat datang di surga anak-anak pedoyan televisi! Surveitermutakhir UNICEF pada 2007 silam bak dering jam weker yang pantasmembuat orangtua awas. Kata badan PBB itu, para bocah di Indonesiaterpekur rata-rata lima jam sehari di depan layar kaca atau totaljenderal 1.560 hingga 1.820 jam setahun. Angka ini, menurut UNICEF,jauh lebih gemuk ketimbang jumlah belajar mereka yang 1.000 jam setahundi sekolah. Makajadilah kotak televisi sekolah tandingan bagi anak-anak ini. Naasnya,jika diamsalkan sekolah, maka televisi adalah sekolah yang berbahaya.Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA) mengantongi data, hanya 30persen acara televisi yang aman dikonsumsi anak pada 2006. ‘’Angkanyatak berubah banyak pada 2007,’’ ujar Boby Guntarto, penggagas HariTanpa Televisi dari YPMA, yang siap merilis angka termutakhir bulandepan. Disebutsekolah berbahaya lantaran, ya itu tadi, kotak televisi sesungguhnyadijubeli materi-materi khusus untuk orang dewasa. Tayangan infotainmentmenggeruduk di pagi hari tatkala anak tengah sarapan. Tayangan sinetrontumpah ruah di layar kaca bak air bah dari sore hingga menjelang tidur.Walhasil, kata B Guntarto,’’Bocah-bocah zaman sekarang sudah terbiasadengan istilah kawin, cerai, atau selingkuh,’’ tutur dia. ‘’Kata-kataatau perilaku ini semestinya konsumsi orang dewasa.’’ Maka,alangkah malangnya anak-anak (zaman sekarang) ini, kata psikologpendidikan dari Lembaga Pendidikan Optima Solo, Niken Iriani. Keceriaandan kepolosannya mereka—disadari atau tidak—berpeluang terbang akibatmasuknya persoalan orang-orang dewasa ke dalam otak mereka. Lewattelevisi. Dan,bukannya musykil ‘peluru’ layar kaca ini kelak membetikkan gangguanpsikologis dalam diri sang bocah. Gejala emosional itu muncul danmembentang di antara dua titik bandul: Dari peniruan tindak kekerasanhingga—yang kurang ekstrem—pertanyaan-pertanyaan di luar dugaan. ‘’Pak,bercumbu itu apa?’’ tutur Syifa Kamila, bocah usia 5 tahun, kepada sangayah, Muhamad Julianto (32) warga Puri Cipageran, kota Cimahi, JawaBarat. Yang ditanya kontan terperanjat tetapi kemudian tersenyum kecutdan bergumam dalam batin: Pasti gara-gara televisi! Usaimengumpat, Julianto sekaligus bertanya: Apa gerangan yang membikinacara televisi bagaikan tumpukan sampah penebar racun bagi anak-anak? ‘’Kayak limbah B3 aja,’’ seloroh karyawan bank swasta itu. Dewa itu bernama rating.Ia yang memberi kata putus: Program televisi apa yang mesti diproduksi,diabaikan, bahkan dilenyapkan sama sekali dari layar kaca. Dirilis olehAGB-Nielsen Media Research, rating menunjukkan seberapa besar penonton sebuah tayangan televisi. Kian tinggi rating, kian besar peluang program tersebut kebagian kue iklan yang nilainya ratusan juta hingga miliaran rupiah itu. Rating pun mulai menebar sihirnya. Program stasiun televisi yang ditabalkan AGB-Nielsen memiliki ratingtinggi, mulai ditiru stasiun televisi lainnya. Terjadi duplikasi disana sini. Inilah mengapa pelbagai tayangan yang tampak serupa tumplekdi banyak stasiun televisi nasional—yang jumlahnya ada 11 saat ini. Padahal, dan celakanya,’’Program dengan ratingtinggi belum tentu berkualitas,’’ ujar Agus Sudibyo, deputi direkturYayasan Seni Estetika dan Teknologi (SET). Hal itu dikukuhkan olehhasil riset yang dihelat yayasan SET bekerjasama dengan 16 lembagasepanjang Maret hingga April 2008 lalu. Hasil riset diungkap Rabu pekanlalu (28/5) di Jakarta. Riset, ujar Agus, dilakukan dengan metode Peer Review Assessment,di mana sekelompok orang (220 orang) dengan kapasitas pengetahuanmemadai memberi penilaian kualitatif terhadap 15 acara berating tinggiversi AGB-Nielsen. Hasilnya? Sebagian besar acara be-rating tinggi justru berkualitas ‘jongkok’. Acara-acaraini dinilai tidak memberi model perilaku yang baik, bertabur kekerasandan pornografi, tidak meningkatkan empati sosial, dan tidak ramah anak.(lihat boks). Padahal acara-acara ‘sampah’ ini bertaburan dan kian mensesaki layar kaca—atas nama rating dan demi misi memburu iklan. Inilah jawaban atas pertanyaan Julianto: Mengapa acara televisi kayak limbah B3? Takkeliru bahwa televisi telah memberi pemeringkatan usia. Misalnya ‘D’untuk tayangan konsumsi dewasa, ‘SU’ untuk semua umur, dan ‘BO’ untukbimbingan orang tua. Tapi bagi Santi Indra Astuti, aktivis MediaLiterarcy Bandung, pembatas ini bagaikan pagar ilalang yang mudahditerobos anak-anak. Santi tak percaya itu. Sementara televisi adalahteror subtil yang perlu ditangani serius. Kotakelektronik ini jelas menyumbang saham besar bagi pendangkalannorma-norma di masyarakat. Tren pemakaian rok mini di kalangan remaja,misalnya, muncul setelah diabsahkan lewat media elektronik. Televisijuga berperan dalam mengikis kepekaan masyarakat terhadap banyak hal.“Dahulu anak-anak takut melihat darah. Lantaran sering melihat ditelevisi lantas menjadi biasa, bahkan menjadi hiburan tersendiri,”tutur ibu dua anak ini. Dilayar kaca, lanjut dia, kehidupan seringkali digambarkan penuh konflik.Sekolah adalah tempat menakutkan. Guru digambarkan aneh. Siswa kutubuku dianggap orang aneh. Penggambaran semacam ini berpengaruh kepadapandangan anak-anak terhadap sekolah. ''Anak menjadi sulit membedakanrealitas simbolik dan real,” ungkapnya. Salahsatu jalan keluar adalah membuat anak menjadi lebih kritis terhadaptayangan yang dikonsumsi. Caranya, ujar Santi, adalah dengan membukaruang diskusi dengan anak saat menonton. Atau: Matikan televisi Anda! Agen Perubahan yang Mesti Berubah Agent of changeatau agen perubahan adalah predikat yang kerap ditabalkan kepada mediamassa, termasuk kotak televisi. Sebelum berharap terlampau jauh,bertanyalah: Bagaimana sih kualitas tayangan televisi di negeri ini, secara umum? Pararesponden ini tak memberi acungan jempol. Sebagian besar memberi nilai‘biasa saja’ untuk program-program acara yang berseliweran di kotaktelevisi—sang agen perubahan itu Apa televisi menambah pengetahuan?Biasa saja. Apa meningkatkan empati sosial? Biasa saja. Apameningkatkan daya kritis? Biasa saja. Apa memberi informasi untukpengawasan? Biasa saja. Apa memberi model perilaku yang baik? Biasasaja. Penilaian Kualitas Program Acara Televisi Secara Umum 0,5 persen : sangat baik27,2 persen : baik41,9 persen : biasa saja24,6 persen : buruk4,2 persen : sangat buruk1,6 persen : tidak tahu Hiburan Berbahaya Acarahiburan adalah tayangan yang paling digandrungi anak-anak dan dinilaipaling aman dinikmati si buyung dan si upik. Tetapi riset yang digelaroleh yayasan SET mengungkap paradoks. (lihat angka) 80,1 persenresponden menyatakan bahwa tayangan hiburan di televisi justru tidak ramah anak alias berbahaya jika ditonton oleh anak-anak. 68,6 persenresponden menyatakan tayangan hiburan di televisi buruk dan sangatburuk dalam memberi model perilaku yang baik kepada pemirsanya. 50,8 persenresponden menyatakan bahwa program hiburan di televisi amat buruk/burukdalam meningkatkan empati sosial, yakni memberi kesadaran untuk peduliterhadap orang lain. 70,7 persen responden menyebut program hiburan di televisi menunjukkan kualitas buruk dalam mengangkat tema yang relevan dalam kehidupan masyarakat. (mg13/mg14/mg20/vie/nri/imy )-

Reunited, reunion, reuni…

dikutip dari www.kolomkita.com
oleh matekur

Reunited, reunion, reuni…
Segala kata tentang reuni… reuni. Sebuah pertemuan setelah lama berpisah. Kenangan masa lalu yang berserak ditata kembali. Cerita-cerita masa kini seolah tak menghapuskan kenangan yang telah dilalui bersama. Kisah hidup saat sekarang yang pastinya semua berbeda, tak sama seperti masa dulu.

Invitation

Join for the reunion….! Go reunited!

Just For: Rheina

Will be hold in Unesa University, Sedati street Gedangan 06th

2008, July, 22nd , 8.00 pm-till drop

fee: Rp 100,00

Undangan reuni dibacanya lagi. Rheina membalik-balikkan kertas undangan itu. Kertas beramplop putih yang diantarkan salah seorang teman sore kemarin. Awalnya Rheina antusias. Sekarang juga, sih. Tapi, entahlah. Ada sesuatu yang mengganjal dalam hati. Ada sesuatu yang ia ingin buang dari masa lalunya. Apakah sudah berhasil dibuangnya? Tidak. Tepatnya belum. Kini bila ia akan bertemu kembali setelah sekian lama dengan sang kenangan, ia tak tahu apakah masih mau dan mampu untuk membuangnya sekali lagi.

“Gimana, Rhein? Ikut, kan?” Tanya Soraya saat ke rumah Rheina sore itu. Soraya, sepertinya salah satu panitia, mengkonfirmasikan kesediaan teman-teman untuk hadir. Juga untuk memberi kepastian, yang mau ikut diwajibkan membayar lebih dahulu. Soraya kebagian jatah menagih Rheina.

“Hm… ikut. Insya Allah. Siapa saja yang pasti ikut?” Tanya Rheina. Ia pikir, kalau banyak yang ikut pasti asik juga. Sepi, kan kalau yang ikut hanya beberapa orang? Perlu reuni ulangan sepertinya.

“Udah 50% kok yang pasti. Mereka juga sudah pada bayar.”

“Siapa saja?” Tanya Rheina lagi karena sepertinya Soraya belum menyebut nama-nama yang sudah pasti ikut.

“Tessa, Nicky, Vinta, Anang, Ferdi, Ardian, Awan, Egi, Irwan, Leena, Wildan, yah.. pokoknya banyaklah, nggak bisa disebutin satu-satu. Pokoknya mereka-mereka itu dan geng-gengnya mereka waktu dulu. Gimana, Rhein…? Mau bayar kapan?” Tanya Soraya sudah masuk pokok pembicaraan. Rheina terdiam sejenak, berusaha mencerna nama-nama teman lamanya itu. Egi. Nama itulah yang ada dalam kenangannya selama ini. Egi datang. Batinnya menekankan. Salah satu sudut hatinya bertanya, benarkah mau menemuinya lagi? Benarkah? Lama Rheina menimbang. Soraya tak terlalu peduli, asal Rheina segera bayar saat itu juga. Soraya sudah capek menagih uang reuni teman-teman lainnya, karena itu dia menunggu dengan sabar saja dengan keputusan Rheina. Egi datang. Batin Rheina menegaskan lagi. Akhirnya Rheina memutuskan.

“Oke, aku ikut. Tunggu sebentar, aku ambil uang dulu,” Rhein masuk ke dalam rumah dan kembali ke ruang tamu dengan selembar seratus ribu.

“Ini,” Rhein menyodorkan uang itu pada Soraya. Soraya menerimanya, mencatat nama Rheina dalam daftar, lalu menulis kuitansi dan memberikannya pada Rheina.

“Terima kasih,” Soraya menyerahkan kuitansi. Ia pun segera mohon pamit pergi ke rumah teman-teman lainnya untuk menagih uang reuni.

***

“Rain,” ujar bibir mungil Egi. Rain dan Rhein memang pengucapannya sama. Tapi Egi lebih suka menuliskannya begitu. Saat penulisan daftar piket kelas, saat pembagian tugas di kelas, pembagian peran dalam drama kelas, dan lainnya, Egi selalu menuliskan Rhein dengan Rain.

“Panggil Rheina,” balas Rheina saat itu. Ia tak suka Egi memanggilnya seperti itu. Bagi Rheina itu terdengar seperti ejekan.

“Ok, ok, Rainy…,” kata Egi cengengesan. Rainy dan Rheina. Pengucapannya mirip. Apalagi saat seorang bule berkunjung ke sekolah beberapa waktu lalu. Dia mengajarkan pengucapan dalam bahasa Inggris yang benar. Dan memang pengucapan rainy terdengar seperti Rheina. Rain terdengar Rhein. Sejak itulah Egi selalu menggoda Rheina dengan ucapan-ucapan itu. Walaupun Egi senang mengucapkannya, Rheina sebal setengah mati.

“Rheina, bukan rainy,” Rheina jadi geram dengan Egi. Dia mendelik dan bersikap seolah mau menerkan Egi sampai lumat!

“R-a-i-n-y,” ucap Egi lagi dengan pengucapan yang sengaja dibuat salah dan logat lokal yang kentara, sehingga kelihatan sekali bahwa rainy jelas berbeda dengan Rheina. Rheina semakin mencak-mencak. Mereka adu mulut di kelas. Memang sudah hal biasa antar siswa adu mulut. Maklumlah anak-anak…

***



Ingatan masa lalu muncul kembali. Memang dulu Rheina lebih senang dipanggil dengan nama aslinya. Tapi sekarang lain. Sekarang Rheina merindukan panggilan Rainy. Panggilan pendek Rain. Apakah nanti saat reuni Egi akan memanggilnya seperti itu lagi? Ah, andai saja. Rheina berandai-andai.. seandainya saat itu bisa diputar kembali. Kenangan itu tak hanya disimpan dalam memori, tetapi juga diabadikan dalam buku diary khas anak kecil sehingga di dalam otak Rheina tak pernah mau menyimpan ingatan itu. Tetapi diary masa kecil itu sudah entah di mana. Tak ada yang tahu, mau tahu, ataupun mencari tahu keberadaannya.

Rain.

Rheina mengetikkan kata itu—tepatnya id—di meinmail.com, situs tempat Rheina mendaftar email. Internet-an di rumah sudah menjadi kebiasaannya kini. Minimal enam puluh menit sehari Rheina menggunakan internet, sekadar mengecek email, menulis blog atau diskusi ringan di milis. Ternyata selang beberapa menit saja, internet sudah mulai disconnect sendiri. Mulanya memang kecepatannya menurun, tapi kemudian disconnect. Rheina jadi kesal. Ia menatap langit dari jendela kamarnya. Hujan turun rintik-rintik. Padahal ini sudah mau musim kemarau. Cuaca memang sulit diprediksi sekarang. Semua gara-gara global warming. Ujung-ujungnya salah manusia juga. Sudahlah … Yang jelas kalau cuaca lagi buruk memang koneksi internet sering macet. Rheina yang sudah tak semangat internet-an segera mematikan komputernya dan go to bed! Gerimis-gerimis memang paling enak tidur.

Dhiny. Rupa gadis berwajah indo yang cantik itu berkelebat dalam benak Rheina. Fotonya yang terpampang di blog milik Egi masih teringat jelas. Gadis inilah yang kini mengisi hari-hari Egi. Tiap melihat halaman blog Egi, Rheina jadi kesal karena cemburu. Tetapi terkadang cuek dan bertekad, “selama janur kuning belum melengkung, masih ada kesempatan.” Tetapi ia lebih sering ia sebal melihat foto-foto mesra mereka. “Egi sekarang milik orang itu,” gerutunya dalam hati, sambil terus berusaha melupakan dan menghapus jejak Egi dalam hatinya. Rheina berusaha melupakan Egi dan mengubur segala perasaan rindu, kangen, dan sayangnya pada Egi. Lupakan! Batinnya selalu mengingatkan dan menegaskan. Selalu berteriak bila ia tak sengaja menginginkan Egi.

“Rhein, ada temanmu, tuh datang,” kata ibu Rheina sore itu. Rhein sedang chatting dengan orang menyebalkan di messenger. Dia jadi punya alasan untuk meninggalkan teman chat-nya yang reseh itu. Rheina segera ke ruang tamu. Ternyata yang datang adalah Soraya. Rheina jadi berpikir, ada apa Soraya kemari? Perasaan dia sudah bayar uang reuni lunas!

“Ada apaan?” Tanya Rheina ogah-ogahan.

“Anterin ke rumah Egi, dong,” jawab Soraya cepat membuat kening Rheina berkerut, mata melotot, dan terbatuk-batuk.

“Ngapain?” Rheina tak habis pikir mengapa tanya hal seperti itu sampai harus ke rumahnya. Memangnya panitia reuni yang lain ada di mana?

“Egi belum bayar uang reuni,” sahut Soraya kalem.

“Besok aja kenapa?” Rheina berkata cepat. Dia malas sekali, dan mengapa harus dia?

“Dia keburu pergi ke Medan.”

“Oh, jadi nggak ikut reuni? Kemarin katanya ikut? Lagian nggak ikut, kok ditagih uang reuni sih?”

“Nggak tahu. Kemarin bilangnya mau ikut, tapi ternyata ada acara keluarga. Egi udah mau bayar, nggak apa-apa, dong, meskipun dia nggak ikut. Boleh juga, kan dia nyumbang, itung-itung buat tambahan dana,” kata Soraya santai. Rheina tetap kesal juga. Malas kan? Dirinya bukan panitia! Sekali lagi bukan!

“Kenapa harus aku? Emangnya temen-temen lainnya nggak ada yang tahu rumah Egi? Panitia lain? Di buku kenangan kan juga ada alamatnya?” sentak Rheina kesal.

“Panitia yang lain kan ngurusi temen-temen lainnya juga.. gak ada waktu lagi. Buku kenanganku dibawa mereka. Ayo, lah, Rhein.. Cuma kamu satu-satunya yang dapat aku mintain tolong. Ya? Please…., mumpung dia mau nyumbang… Kita kurang dana banget nih…,” jurus rayuan Soraya dikeluarkan. Rheina jadi agak tidak enak hati juga. Rheina terdiam. Apa dia mampu menguasai diri kala bertemu dengan Egi? Pikir Rheina. Hatinya mulai bergejolak tak karuan. Wajahnya menampakkan keberatan.

“Ya, udah, kalau kamu enggak mau.. Pinjam buku kenanganmu saja,” Soraya tampaknya memahami ketidakmauan Rheina.

“Hilang,” Aduh, rutuk Rheina dalam hati. Sekarang benar-benar tak ada pilihan lain! Rheina kesal dengan dirinya sendiri. Menghilangkan buku kenangan! Gara-gara ingin melupakan Egi, dia sengaja tak merawat buku itu dan sekarang sudah hilang. Soraya mengambil napas. Minta tolong antarkan tak mau, buku kenangan mau dipinjam saja hilang. Soraya jadi kehabisan akal.

“Atau kamu aja yang nyumbang.. jadi aku nggak perlu ke rumah Egi.. Kan udah ada kamu yang nyumbang,” sekarang Soraya malah mengancam Rheina membayarkan uang yang sudah disanggupi Egi. Rheina semakin cemberut.

“Iya, deh, aku anterin! Aku ganti baju dulu!” jawab Rheina akhirnya mengalah. Sekarang Soraya tersenyum simpul. Akhirnya!

“Rain, rain, rain, rain…., “ Egi melagukan kata-kata itu tanpa aturan nada sama sekali ketika Rheina dan Soraya tiba di rumahnya sambil menyediakan minum untuk mereka. Rheina diam. Ia mendengarkan kata “rain” dari mulutnya lagi. Ah, sudah berapa tahun dia tak mendengar Egi memanggil namanya seperti itu.

Egi yang sudah siap-siap pergi ke bandara meletakkan dua botol minuman di atas meja. Kemudian dengan sedikit berbasa-basi, Egi mengajak ngobrol keduanya. Sekedar bertanya kabar, kuliah di mana, dan lain-lainnya. Egi sesekali tersenyum pada Rheina, juga pada Soraya. Tatapannya yang tajam kala berbicara dengan Rheina masih sama seperti dulu. Membuat Rheina mengira Egi menyukai dirinya. Ketika itu pun Rheina juga menyukai Egi. Ternyata sikap Egi sama saja. Pun sekarang Egi sudah punya pacar, dia tetap memanggil Rhein dengan “rain”, dan tetap memandang Rheina dengan tatapan yang lekat. Sementara Rheina berusaha keras menghilangkan masa lalu, rasa sayang, rasa kangen pada sosok yang selalu membuat berdebar-debar.

Kini debaran hati yang selalu mendera jantung Rheina ketika hanya melihat foto Egi di internet, apalagi kini bertatap muka langsung, sudah hilang. Sama sekali tak ada, malah. Keringat dingin tak lagi keluar. Entah memang rasa itu telah hilang atau memang berhasil disembunyikan Rheina.

“Salam untuk teman-teman ya..,” kata Egi dari dalam mobil yang melaju di jalanan depan rumahnya kepada Rheina dan Soraya setelah keperluan mereka selesai. Mereka berdua baru saja mau menghidupkan mesin motor mereka.. Kedua gadis itu membalas dengan senyuman dan lambaian tangan. Dan mobil Egi perlahan menjauh.

“Rhein, terima kasih, ya…,” Soraya tersenyum senang, “aku pulang dulu, temenku nungguin di rumah, barusan dia sms,” lanjutnya lagi sambil menjabat tangan Rheina. Rheina membalas erat jabatan tangan Soraya seraya membalas tersenyum. Lalu Soraya pun dengan gesit memakai perlengkapan: helm, sarung tangan, masker.

Soraya segera menaiki motornya. Karena arah rumah mereka berlawanan kalau dari rumah Egi, maka mereka tadi membawa motor sendiri-sendiri. Soraya ke arah selatan dan segera melaju duluan, sepertinya buru-buru sekali.

Di lain pihak, Rheina masih memakai sarung tangannya pelan-pelan, sambil sesekali memandangi rumah Egi. Rheina tersenyum tipis. Baru kali ini dia pergi ke rumah Egi dalam rangka menemui Egi. Dia pakai helm standarnya, kemudian menaiki motornya. Mulai menghidupkan motor. Sekali lagi menoleh, melihat rumah Egi, sebelum benar-benar pergi meninggalkannya. Mungkin inilah kali pertama dan terakhir Rheina pergi ke rumah Egi.

Rhiena segera tancap gas pulang setelah puas memandangi rumah Egi yang besar dan luas. Perlahan hujan mulai turun rintik-rintik. Rheina tak mempedulikan hujan yang turun, ia tetap melaju cepat. Ia tak berhenti untuk sekedar memakai jas hujan. Ia tetap kebut motornya. Hujan lama-lama mulai deras. Butiran-butiran air mata Rheina mengalir di pipi, bercampur dengan air hujan. Benarkah? Benarkah hatinya sudah melupakan Egi? Saat menangis, tak ada orang peduli, semua orang hanya mengira itu air hujan, bukan air mata. Dalam hatinya meneriakkan kata “Egi, Egi, Egi” keras-keras. Meminta jangan pergi. Seolah kepergian Egi hari itu memang menandakan kepergian Egi dari hati Rheina selamanya. Tangis Rheina semakin pecah, tetapi hujan menghapus air mata itu, seolah menghibur Rheina. Biar hujan menghapus jejakmu, kata Peter Pan. Saat itu hujan mungkin memang sedang menghapus jejak Egi selamanya di hati Rheina.

“Rain, rain, rain, rain…., “ dendang lagu itu masih terngiang merdu…

*selesai*

FPN Usulkan 5 Agenda 100 Tahun Harkitnas

FPN Usulkan 5 Agenda 100 Tahun Harkitnas
Jakarta (ANTARA News) - Ketua Umum Badan Pekerja Pusat (BPP) Front Persatuan Nasional (FPN) KH Agus Miftach mengusulkan lima agenda memperingati Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) ke-100 yakni, mendeklarasikan kembali Pembukaan UUD 1945, meninjua kembali produk UU dan peraturan, meminta pemerintah menyusun GBHN, meninjau kembali sistem politik kepartaian dan sistem perekonomian nasional. "Rapat kebangsaan, untuk mendeklarasikan kembali Pembukaan UUD 1945 yang diikuti oleh masyarakat, pemuda, pelajar dan mahasiswa yang setia kepada NKRI," katanya dalam keterangan persnya di Jakarta, Sabtu.Dalam acara Silaturahmi Keagamaan dan Kebangsaan II itu, Agus menegaskan, deklarasi Pembukaan UUD 1945 itu merapakan ekspresi dukungan rakyat kepada NKRI yang bersendikan Pancasila dan Preambule UUD 1945. Dia mengusulkan, meninjau kembali produk perundang-undangan yang tidak sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945 agar dapat dilakukan perubahan, pergantian dan 'judicial review' secara signifikan. "FPN meminta pemerintah menyusun Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) agar segala sesuatu yang menyangkut jalannya Negara-Bangsa dapat terukur secara transparan, mulai dari perencanaan hingga pelaksanaan dan hasil-hasilnya," katanya.Selain itu, meninjau kembali sistem politik dan kepartaian agar lebih sesuai sebagai bentuk impelemantasi ideologi Pancasila dan konstitusi UUD 1945 serta meninjau kembali sistem perekonomian nasional agar berpihak kepada kepentingan rakyat, dengan mendorong tumbuhnya sektor riil dan permodalan masyarakat. Pada kesempatan tersebut, Gus Miftah mengatakan, merebaknya ideologi fundamentalisme agama yang dikembangkan oleh kelompok minoritas tertentu yang menganggap dirinya pihak yang paling benar dengan mengobarkan rasa permusuhan di kalangan masyaraka, adalah hal yang sangat memprihatinkan, dan perlu disikapi dengan tegas tanpa kehilangan kearifan sebagai sesama warga bangsa. "Hal tersebut terutama disebabkan oleh mundurnya idealisme kebangsaan seiring dengan proses de-ideologisasi yang menggeser nilai Pancasila," ujarnya.Menurut tokoh dari kalangan NU itu, perlu revitalisasi dan reaktualisasi ideologi Pancasila sebagai sistem nilai kebangsaan Indonesia yang dinilai mengalami kemunduran selama dasawarsa terakhir ini. "Surutnya Pancasila dari spiritualisme kebangsaan Indonesia, menjerumuskan bangsa kepada solusi pragmatis buta yang menyesatkan. Kini bangsa Indonesia tengah mengalami disorientasi dan dislokasi yang membuatnya tak lagi berpijak kepada nilai-nilai historis kebangsaan dan tujuan nasional serta cita-cita bangsa sebagaimana terkandung dalam Pembukaan UUD 1945," katanya. Dipihak lain, katanya, negara diduga tengah digerogoti oleh berbagai gerakan trans-nasional yang bermaksud mendirikan "state-system" yang lain yang didasarkan atas kepentingan masing-masing, termasuk kepentingan teokratisme yang nihilis.(*)
COPYRIGHT © 2008

Jumat, 16 Mei 2008

Aneka Puisi

Puisi Takarrub

sobat...

tinggalkan urusan dunia

tehnologi canggih

mari bersimpuh dihadapan Allah

saat ini di dusun yang sepi

di kaki gunung

di tengah sawah

di hamparan rumput nan hijau

kami takarrub

tuk bersujut di kakiMu

mengakui dosa-dosa



Tahajut

24 jam kita mengarungi kehidupan

nikmatnya pelukan suami istri

saatnya nanti tiba

lepasnya jiwa dan raga

itulah awal kehidupan yang hakiki

Sudahkah sobatku

menyisihkan waktu itu

Yaitu sepertiga malam terakhir

untuk mensyukuri karunia

yang telah sobat nikmati

Nikmatnya dan damainya bila

bisa melaksanakan tahajjut

hingga terdengar suara adzan subuh


Puisi 100 Tahun Kebangkitan Nasional oleh Deddy Mizwar

Bangkit itu susah.........

Susah melihat orang lain susah

Senang melihat orang lain senang

Bangkit itu Takut.........

Takut Korupsi Takut makan yang bukan haknya

Bangkit itu Mencuri.......

Mencuri perhatian dunia dengan prestasi

Bangkit itu Marah.........

Marah bila martabat bangsa dilecehkan

Bangkit itu malu..........

Malu menjadi benalu Malu minta melulu

Bangkit itu Tidak ada.....

Tidak ada kata menyerah

Tidak ada kata putus asa

Bangkit itu aku...........

aku untuk INDONESIAKU



Sujudku

Malam merangkak perlahan

Menapaki kegelapan nan kelam

Bulan bertengger mengepakkan sayap

Ditemani bintang yang menebar pesona

Dalam sunyinya malam

Kucoba bangkit dari lelap

diantara mata yang terpejam

Kusentuh dinginnya air suci-MU

diantara mimpi yang melintas

Kugelar sajadah di hamparan

kasih-MU

Ku tatap nur-MU

Yang berkilau bak mutiara

Ku bersimpuh dan bersujud

Di hadapan-MU yang Maha Tahu

Diantara butiran tasbihku

kusebut asma-MU

Yang menggetarkan kalbuku

Dalam isak tangisku

Kuratapi dosa-dosaku

Dalam rekaat-rekaatku

Ku nyanyikan pujian-pujianku

tentang MU

Bersama lantunan doaku

Ada kedamaian disana

Yang tak pernah ada

diantara kepingan harta

Ya maulana...

terimalah sujudku

Kamis, 15 Mei 2008

2008: Bukan 100 Tahun Kebangkitan Nasional

Dikutip dari www.eramuslim.com
2 Peb 08 14:09 WIB

Salah satu kelebihan Kaum Yahudi dibandingkan umat-umat lainnya adalah kebanggaan mereka terhadap perjalanan sejarah kaumnya sendiri.
Berabad silam, di tahun 1118 Masehi, tatkala Knights Templar dibentuk dan memulai penggalian di bawah pondasi kompleks Masjidil Aqsha dengan keyakinan bahwa The King Solomon Treasure terpendam di bawah situs bersejarah milik umat Islam, upaya ini dilanjutkan dari generasi ke generasi sampai dengan detik ini, melewati lebih dari Sembilan abad, walau apa yang dicari belum pernah ditemukan! Umat Yahudi adalah umat yang patut diberi acungan jempol soal kebanggaan mereka terhadap sejarahnya.
Bagaimana dengan umat Islam? Di sinilah salah satu kelemahan kita yang paling akut. Umat Islam memorinya sangat singkat dan sangat mudah terhapus sehingga kejadian yang baru saja berselang tak lama kemudian begitu cepat terlupakan. Dan parahnya, penyakit lupa sejarah ini tidak saja menghinggapi tingkat akar rumput, namun juga diderita oleh para pemimpinnya atau orang-orang yang mengaku sebagai tokoh umat.
Salah satu kasus yang paling baru adalah berita yang mengutip dari salah seorang tokoh umat Islam bahwa tahun 2008 ini merupakan 100 tahun Kebangkitan Nasional. Hal ini tentu berangkat dari pemahaman bahwa Kebangkitan Nasional Bangsa Indonesia terjadi pada tahun 1908. Apalagi jika bukan pendirian organisasi Boedhi Oetomo (BO) pada 20 Mei 1908 yang dimaksud. Kenyataan ini sungguh-sungguh memilukan.
Adakah mereka tahu bahwa BO sama sekali tidak pernah mencita-citakan Indonesia merdeka? Adakah mereka paham bahwa BO tidak berdiri di atas paham kebangsaan, melainkan paham chauvinistis sempit di mana hanya orang Jawa dan Madura yang boleh menjadi anggotanya? Adakah mereka tahu bahwa BO sama sekali tidak menghargai bahasa Melayu sebagai bahasa asal dari bahasa Indonesia karena di dalam rapat-rapat resmi maupun di dalam anggaran dasar maupun anggaran rumah tangganya BO mempergunakan bahasa Belanda?
Adakah mereka tahu jika BO mendukung status-quo yang berarti mendukung penjajahan Belanda atas Bumi Pertiwi ini? Adakah mereka tahu jika para tokoh BO merupakan tokoh-tokoh Freemasonry bentukan Belanda yang gemar mengadakan ritual memanggil setan di loji-loji mereka?
Jelas, tanggal pendirian BO sama sekali sangat tidak pantas dan tidak berhak dijadikan momentum Hari Kebangkitan Nasional! Karena BO memang tidak pernah mencita-citakan itu. Dijadikannya berdirinya BO sebagai momentum Hari Kebangkitan Nasional merupakan salah satu warisan rezim terdahulu yang wajib direformasi dan dihapus dari buku-buku sejarah Indonesia. Seorang pemimpin harus berani mengatakan putih itu putih dan hitam itu hitam. Jika tidak berani, maka namanya bukanlah pemimpin melainkan ‘Pak Turut’.
Kebangkitan Nasional Sesungguhnya
Sebenarnya sudah teramat banyak artikel yang mengupas tentang hal ini. Hanya mereka yang malas membacalah yang tidak mengetahui bahwa berdirinya Syarikat Dagang Islam (SDI) tiga tahun sebelum BO, jadi di tahun 1905, yang patut dijadikan Hari kebangkitan Nasional. Karena SDI yang kemudian menjelma menjadi Syarikat Islam (SI) adalah organisasi bangsa Indonesia dari Sabang hingga Merauke (bukan hanya Jawa dan Madura seperti halnya BO) yang pertama kali yang berhasil menghimpun semua anak bangsa dan mencita-citakan Indonesia merdeka.
Anggaran dasar dan anggaran rumah tangga SDI dan kemudian SI memakai bahasa melayu sebagai bahasa asal Bahasa Indonesia. Demikian pula di dalam rapat-rapat resminya, organisasi ini mempergunakan bahasa melayu dan diharamkan mempergunakan bahasa Belanda karena dianggap sebagai bahasa kaum penjajah.
Bagi yang belum pernah mendengar hal ini (kasihan sekali) silakan cari sendiri di berbagai situs yang telah memuat banyak artikel tentang hal tersebut. Sejumlah buku-buku pun sudah memaparkan hal ini.
Jangan Lestarikan Yang Salah
Salah satu amanah reformasi adalah pelurusan dan pemurnian sejarah. Dan tokoh-tokoh yang kini berada di lingkaran elit kekuasaan harusnya memenuhi amanah ini. Apalagi Kebangkitan Nasional yang sesungguhnya itu, di tahun 1905, adalah juga kebangkitan organisasi Islam pertama di Nusantara. Umat Islam wajib membanggakan hal itu dan berjuang sekuat tenaga agar seluruh bangsa Indonesia mengetahuinya.
Adalah sangat memilukan jika umat Islam sendiri, apatah lagi tokoh-tokohnya, mengabaikan hal itu dan meneruskan kebohongan sejarah yang mendiskreditkan sejarah Islam Nusantara sendiri kepada generasi penerus bangsa ini. Janganlah mewariskan sesuatu yang salah. Katakanlah yang benar, walau kebenaran itu belum tentu manis rasanya.(rizki)

Senin, 12 Mei 2008

Foto Yudisium Sejarah IKIP Surabaya 1989






Lamongan, 13 Mei 2008


Foto-foto koleksi yudisium jurusan sejarah IKIP Surabaya 1984 antara lain tampil di sebelah, adalah foto-foto teman seangkatan antara lain dari kiri (1) Matekur, (2) Hari Siswoyo, dan (3) Didik...


Teman-teman se-angkatan bisa mengirimkan foto-foto koleksinya yang berkaitan dengan sejarah 84 ke email matekur@yahoo.com, atau lewat pos ke alamat: matekur, SMKN 1 Lamongan, Jl. Jend. Sudirman No. 84 Lamongan 62212 atau matekur, Deketwetan No. 18 Deket Lamongan, Jatim koe pos 62291




Gambar di sebelah adalah para peserta yudisium jurusan Sejarah IKIP Negeri Surabaya tahun 1989, tampak dari kiri; (1) endang, (2) muhlisa, (3) dll








Foto yudisium Sejarah 1984 juga dikoleksi oleh Matekur NRP 084666000. Tampak dari kiri, (1) Sugeng Riyadi, (2) Heri Susanto, (3) Didik Suryanto, dll.

Penggagas Web Blog FKAS 1984


Penggagas Web Blog FKAS 1984, Matekur, asal Kabupaten Lamongan, bersama keluarga sedang tour keluarga di THR Mall Surabaya pada awal tahun 1997 an. Ini tahun perkiraan karena di belakang fotonya tidak ada tanggal kegiatan. Selamat bergabung dengan Webblog FKAS (Forum Komunikasi Alumni Sejarah 1984), semoga barokah dan memperpanjang umur kita, amin ya robbal alamin.